d e l a p a n

28 8 4
                                    

Dina benci hari Senin. Ia harus bangun lebih cepat dan kembali ke rutinitas yang membuatnya selalu kelelahan ketika Senin tiba. Dina benci hari Senin. Karena di hari Senin, ia harus bertemu dengan seorang dosen yang sebenarnya agak ia benci.

Dosen muda yang tampan dengan tubuh atlet idaman seluruh kaum hawa, dosen yang disebut sebagai oase di tengah-tengah materi dan tugas karena begitu 'menyegarkan', tapi Dina tidak bisa menghentikan rasa ingin mengkritiknya untuk semua hal.

Katakan ia jahat sampai membenci seorang yang sudah memberikan ilmu padanya, tapi jika saja kalian tahu tetek bengek masalahnya, sedikit banyaknya kalian pasti mengerti terhadap sikap Dina sekarang.

Masih berbekas diingatan Dina apa yang dilakukan dosen itu, membuatnya semakin membenci dosen yang sering ia panggil kampret—saat ia hanya berduaan dengan Reina. Nama kampret ia pelesetkan dari nama dosen itu, Alfred.

Meskipun Reina telah sering kali menceramahinya tentang ketidaksopanan yang dilakukannya, rasanya ceramah itu masuk telinga kanan lalu keluar lagi lewat telinga kiri tanpa pernah benar-benar mampir dan mengendap di otaknya.

Inilah Dina, tak peduli status maupun umurnya, kalau ia tidak suka ya tidak suka.

Bukan Dina namanya kalau tidak mengutarakan rasa bencinya secara blak-blakan. Meski begitu, ia tidak berani mengatai pria itu langsung. Bisa-bisa Dina dikeluarkan dari mata kuliah Alfred dan mendapatkan nilai F jika berani melakukannya. Cukup merasa kesal dan memaki namanya, paling tidak ia bisa melakukan itu untuk mengutarakan kekesalan di dalam hatinya itu.

Alfred yang masuk ke dalam ruangan membuyarkan lamunannya.

Melihat wajah dingin yang sok cool itu membuat Dina ingin mencakarnya ganas.
Sepanjang pelajaran, Dina terus saja mengeluarkan umpatan tidak jelas, dan sama sekali tidak memperhatikan.
Biarlah, nanti dia minta ajari dengan Reina saja. Mencoba menerima pelajaran dari orang yang dibenci hanya akan membuang energinya.

Walaupun tidak menginginkannya, ingatan itu berputar lagi dalam kepala Dina.

Kira-kira satu tahun yang lalu.

"Kamu itu seorang mahasiswa! Seharusnya kamu tahu apa yang harus dilakukan! Sudah kuliah kenapa masih saja seperti anak SMA? Kamu tidak suka mata kuliah saya, ya?"

Pria dengan tubuh tegap itu berjalan mendekati Dina, sedangkan gadis itu terdiam dengan wajah terkejut bukan main. Ia tidak pernah di bentak sekeras itu sebelumnya.

Dina mengerti dia memang salah. Waktu itu dia lupa membawa tugas yang harusnya dikumpulkan setelah jatuh tempo. Padahal Dina sudah menjelaskan masalahnya, dan dia mau meminta izin untuk melonggarkan waktu hanya beberapa jam—agar ia bisa mengambil tugas itu di rumah.

Namun, kesalahan Dina seakan tak termaafkan. Alfred langsung membentaknya sampai begini, dan di hadapan semua murid pula. Padahal ini juga pertama kalinya ia melakukan kesalah di mata pelajaran Alfred, kenapa pria itu keras sekali mengajarnya?

Dina merasa malu dan marah. Marah pada dirinya sendiri yang bisa-bisanya ceroboh padahal ia tahu Alfred memang dikenal disiplin.

"Kenapa diam? Kamu benar-benar tidak suka? Baiklah, mulai minggu depan kamu tidak perlu masuk lagi ke kelas saya. Siapa namamu?"

Alfred membuka buku absensinya, membuat Dina langsung gelagapan karenanya. Dia tak boleh dicoret dari absen, pasalnya, mata kuliah Alfred ini cukup penting demi kelulusan semesternya. Ia tertunduk tanpa mengeluarkan suara. Rasanya baru kali ini ia merasakan tangannya bergetar karena perasaan campur aduk seperti ini.

Mahasiswa lain pun hanya bisa diam. Kalau ikut bicara, bisa jadi mereka juga akan diseret dalam masalah ini. Mereka masih sayang nilai sehingga memilih tak berkata apa pun, tak juga protes meski Alfred memperpanjang jam pertemuan padahal seharusnya mereka sudah bisa istirahat sekarang.

Step ForwardWhere stories live. Discover now