s e b e l a s

26 8 0
                                    

Hari libur memang yang terbaik. Reihan bisa bangun siang tanpa harus takut terlambat. Ia juga tak perlu memikirkan tugas. Praktek pun telah diselesaikan sehari sebelumnya berkat suruhan Reina, dan ia sangat bersyukur untuk itu sekarang. Karena akhirnya, ia menemukan hari yang sangat damai setelah badai tugas berlalu.

Matanya melirik jam di sudut kamar. Sudah pukul sepuluh pagi, tapi ia bahkan belum beranjak dari kasurnya. Ia kembali menutup mata lalu berguling ke ujung kasur. Merasakan empuknya kasur dengan sepenuh hati.

Mau tak mau Reihan jadi teringat Reina. Ia yakin gadis itu sudah duduk di depan buku dan melakukan kegiatannya seperti biasa; belajar dan mungkin mengerjakan tugas. Tidak seperti dirinya yang bahkan belum mau mengguyur badan dengan air yang terasa dingin dikulit saat ini.

Setelah beberapa menit, akhirnya Reihan kembali duduk. Mau apa ya? Main game? Nonton anime? Reihan menggaruk belakang tengkuknya yang tidak gatal. Kenapa semua hal jadi terasa membosankan dalam pikirannya saat ini? Dia ingin melakukan hal lain—hal yang lebih menarik.

Menghela napas kala tak menemukan apapun yang dapat dilakukan, Reihan berdiri dan berjalan ke arah balkon. Melirik cahaya matahari yang tidak terlalu terik, namun tangannya reflek menutupi mata, silau tetap saja silau.

Fokusnya teralih saat melihat sesuatu yang berada di seberang balkon; kamar Reina yang sudah rapi dengan tirai tersibak sempurna. Menyipitkan pandangan, Reihan menemukan Reina sedang bersandar di salah satu rak sambil memegang buku besar. Mungkin sedang mengulangi materi yang sudah dipelajari sebelumnya—atau malah mempelajari materi baru karena materi sebelumnya telah dikuasai dengan sempurna.

Reihan tak dapat tersenyum. Kalau dipikir-pikir, Reina itu moodboster baginya. Hanya dengan melihat gadis datar itu dalam radius lima meter, Reihan merasa jadi seratus kali lebih baik. Lebih bertenaga setelah kelelahan menghadapi semuanya.

Apalagi, setelah seseorang meninggalkannya dulu.

Reihan terdiam. Mengerjap mata lalu menggeleng sambil tersenyum kecut. Mencoba menghilangkan bayangan seseorang dari kepalanya. Hal itu lebih baik tidak diingat.

"Meow."

Reihan mengerutkan alis dalam. Tadi itu suara ... kucing? Ah, mana mungkin. Ia kan tidak memelihara kucing di sini.

"Meow."

Hm? Jadi sungguhan?

Reihan lalu menatap liar ke kanan dan ke kiri. Mencari sumber suara tapi tidak menemukan apapun. Jangan bilang kalau ia sedang berimajinasi?

"Meow!"

Reihan terperanjat, dengan segera mengalihkan tatapannya ke arah bawah setelah mendengar suara kucing itu semakin keras dan tinggi. Sekarang akhirnya ia melihat seekor kucing berkalung hitam dengan warna bulu seputih susu dan Netra sebiru laut. Kucing itu sedang menghampirinya dengan langkah kecil dan menggemaskan.

Ah, itu Jiro!

Reihan melebarkan senyum sambil mengubah posisi menjadi berjongkok untuk bisa menangkap kucing itu ke dalam pelukannya. Ia duduk di dasar lantai balkon, membiarkan Jiro duduk di pangkuannya dengan nyaman sambil sesekali mengeong gemas. Sedangkan matanya menyusuri setiap inci bulu bersih kucing itu sambil tersenyum bangga.

Reihan tidak pernah berharap kurang dari Reina. Apa pun yang berada dalam pertanggungjawabannya akan terurus dengan baik. Jiro hanyalah salah satu buktinya.

Reihan bisa melihat banyak sekali perbedaan Jiro yang sekarang dengan Jiro saat pertama kali dilihatnya. Ia ingat dulu, sebelum Reina jadikan peliharaan, Jiro adalah kucing jalanan yang punya banyak luka ditubuh. Ia juga terlihat liar dan tak bersahabat. Namun sekarang, semua itu telah berubah.

Step ForwardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang