s e m b i l a n

30 8 0
                                    

Hari ini menjadi hari berisik lainnya bagi Reina.

Netra cokelatnya menyipit ketika suara Dina yang bersahutan dengan Reihan semakin nyaring masuk ke dalam gendang telinganya. Kadang Reina sendiri bingung, mengapa ia harus berada di tengah-tengah keributan ini. Namun rasanya mengeluh sekarang pun tak ada artinya.

Sekarang mereka sedang berdebat untuk makan siang di Kafetaria atau di Restoran di luar kampus. Reihan inginnya makan di Kafetaria karena malas keluar, sedangkan Dina ingin ke Restoran di luar kampus karena sudah bosan dengan makanan yang ada di sana.

Dan seperti biasa, Reina hanya menjadi pihak netral saat yang lain mulai keras kepala dengan pilihan masing-masing. Baginya, di mana pun tidak masalah. Asalkan perutnya bisa terisi—dan kalau bisa ia menghemat uang jajan sesedikit mungkin, pun rasanya sudah cukup.

Reina menengok ketika rambut sebahunya ditarik-tarik kecil oleh Dina.

"Di restoran aja, ya." Dina memelas sambil memberengut. Tangannya dengan cepat meraih lengan kiri Reina lalu ia menggelayut di sana. Mencari satu suara dari Reina agar ia bisa menang.

"Udah, di Kafetaria aja. Nanti jam setengah tiga aku ada kuliah lagi." Reihan menyahut cepat. Tangannya lalu menarik Reina ke sisi berlawanan, ingin memisahkannya dari Dina. Namun gadis itu tidak serta merta langsung melepaskannya, hingga Reina menjadi objek tarik menarik oleh dua orang itu untuk beberapa saat.

Reina menghela napas, merasakan tangannya mulai sakit karena ditarik ke sana ke mari. Ia tidak mungkin memihak pada salah satu dari mereka, karena yang lainnya pasti akan iri. Pada akhirnya ia mengusulkan hal yang sama seperti sebelumnya. "Ya sudah, suit saja."

Mendengar hal itu, mereka langsung saling menatap garang. Tatapan mereka seperti mangatakan bahwa tidak akan ada yang mau mengalah. Benar-benar kekanakan. Baru saja mereka akan memulai pertandingan terpanas abad ini, tapi terhenti kala seseorang menginterupsi kegiatan mereka.

"Reina mau ke Kafetaria? Gimana kalo bareng aja, aku juga mau ke sana."

Reina menoleh dan mendapati Ka Angga sedang menatapnya dengan antusias. Ah, tidak. Ia segera melirik Reihan yang mulai menguarkan aura tak suka. Reina menghela napas jengah, instingnya mengatakan kalau ini akan menjadi hari yang sangat panjang.

"Ah sayang sekali. Kami sudah berencana untuk ke Restoran di luar kampus." Reihan tersenyum pongah. Dina mengerutkan dahi dalam sedangkan Reina menatap datar.

Tadi, siapa juga yang ingin ke Kafetaria?

Keinginan Reihan seakan langsung berbelok hanya karena tidak ingin memiliki keinginan yang sama dengan Angga. Sebenci itukah ia dengan Angga? Reina memijit pelipisnya yang berdenyut.

"Oh, begitu? Ya sudah. Aku ikut saja. Kalau dipikir-pikir aku sudah bosan makan di Kafetaria," sahut Angga dengan wajah polos, membuat Reihan menggerutu pelan. Tak punya alasan lain lagi untuk menolak.

Jadi, sebenarnya ada apa dengan mereka?

Kalau kaubertanya pada Reina, ia akan menjawab dengan tegas; ia juga tidak tahu.

Ingatannya berputar pada beberapa minggu lalu, ketika kakak tingkat mereka ini, kak Angga, pertama kali menemuinya setelah memproklamasikan bahwa mereka berteman. Sejak saat itu juga, Reina bisa melihat ketidaksukaan Reihan pada pemuda itu.

Sepanjang ingatan Reina, Reihan tidak pernah bermusuhan dengan siapapun selama di kampus. Dia anak yang supel dan mudah berteman pada siapa saja. Namun sepertinya, Angga adalah sebuah pengecualian.

Reina merasa, Reihan bersikap seperti ini karena sedang terancam. Tapi, ia terancam karena apa? Lagi-lagi Reina hanya menemui pertanyaan baru dalam benaknya.

Step ForwardWhere stories live. Discover now