d e l a p a n b e l a s

24 8 1
                                    

Gadis itu berhenti berjalan ketika melihat sebuah kaleng memasuki jarak pandangnya. Tatapannya terlihat kosong, dan bersamaan dengan sebuah decakan kesal, ia menendang kaleng itu sekencang-kencangnya. Berharap dengan itu ia bisa meluapkan sedikit dari emosinya yang telah terkumpul dan memenuhi dada.

Matanya memancarkan kekesalan, kekecewaan, dan kesedihan secara bersamaan. Wajahnya kelihatan kusam tanpa energi, dan penampilannya berantakan. Membuatnya terlihat begitu kacau dibandingkan pejalan kaki lain di pinggir jalan itu.

Seluruh sel di badannya terasa meronta minta diistirahatkan. Meski begitu, ia kembali berjalan tanpa arah. Bodo amat dengan setiap tatapan yang di arahkan padanya dan mengosongkan isi kepalanya.

Hanya ada satu alasan mengapa ia jadi begini; kakaknya.

Setelah hari itu, Dina kembali mencoba mencari kakaknya. Mengesampingkan kemungkinan ia akan terluka dan diusir lagi. Namun begitu, ketika ia ke sana, semuanya telah berubah.

Tempat itu telah kosong tanpa ada satu pun orang tersisa. Hanya ada bekas botol dan sampah yang dibiarkan berceceran di lantai. Saat ia bertanya pada pemukiman terdekat dari gang itu, ia diberitahu kalau orang-orang di sana ditangkap karena penjualan miras oplosan. Sebagian diperiksa karena kemungkinan penggunaan narkoba, dan sebagian lainnya berhasil kabur dari tempat dan tidak pernah kembali ke sana.

Semua informasi yang Dina kumpulkan kembali tidak berguna. Ia kehilangan jejak kakaknya, sekali lagi. Ia sudah mencari ke banyak tempat terdekat dari gang itu, tapi nihil. Tidak ada satu pun tanda keberadaan kakaknya, atau bahkan preman-preman yang ia lihat dulu.

Dina berhenti ketika sekali lagi kakinya membawa dirinya ke tempat ini; ke sebuah kantor polisi yang dikatakan sebagai tempat ditangkapnya orang-orang itu.

Dina terdiam dan menggigit bibirnya sendiri. Hanya satu tempat itu yang belum ia periksa. Ia tidak bisa. Bagaimana kalau benar kakaknya ditangkap dan dipenjara di sana? Dina menggeleng. Ia tidak akan sanggup melihat sosok yang ia hormati malah membuang hidupnya sendiri dan membiarkan dirinya membusuk di dalam jeruji besi yang dingin.

Gadis itu segera memalingkan wajah dan menutup mata. Ia ingin percaya bahwa kakaknya tidak termasuk dalam kelompok orang-orang itu. Karena itu ia memilih kembali berjalan menjauh tanpa satu pun petunjuk keberadaan kakaknya.

Ia memegangi kepalanya yang berputar dan keseimbangannya goyah. Ia terduduk di pinggir jalan dengan air nata yang kembali menggenang. Semua yang terjadi dalam waktu singkat ini berhasil membuat mentalnya hancur. Ia kira tinggal menunggu waktu sampai ia benar-benar kehilangan kewarasan dan berakhir di rumah sakit jiwa. Hm, haruskah ia berjalan menuju rumah sakit di ujung jalan itu dan meminta dirujuk saja?

Dina tertawa getir. Mungkin itu terdengar lebih baik daripada kehidupannya yang sekarang. Lagipula, semua ini telah membuat semangatnya untuk hidup menghilang. Ia melihat ke arah langit dengan mata yang hampa.

Benar juga. Memangnya … ia masih punya alasan untuk hidup?

"Hei, apa yang kamu lakukan di tempat seperti ini? Kamu sudah gila?"

Pandangan Dina sedikit turun, lalu mengarah ke sisi kirinya—tempat sumber suara itu muncul. Perlu beberapa detik agar ia benar-benar menyadari siapa yang mengajaknya bicara. Dina mengerjap lalu cemberut. "Kenapa Bapak ada di sini?"

Pria yang disambut dengan wajah tidak suka itu semakin mengerut. Ia kembali berdiri dan menawarkan tangan untuk membantu Dina berdiri. "Aku tidak menyangka kamu cukup gila untuk duduk di tengah-tengah keramaian orang lewat. Berdiri. Jangan membuat nama kampus kita rusak."

Dina menajamkan mata, lalu mendengkus. Ia mengabaikan uluran tangan itu lalu berdiri dengan kekuatannya sendiri meski terhuyung. Ia mendengkus lalu berbalik, "Sayangnya aku tidak sedang dalam mood untuk menyumpahimu, Pak. Aku pergi duluan. Permisi."

Step ForwardWhere stories live. Discover now