d u a b e l a s

20 8 0
                                    

Kafetaria adalah tempat kegemaran para mahasiswa di mana mereka dapat menghilangkan rasa lapar juga hausnya, atau malah, untuk menghilangkan rasa lelah hayati setelah menghadapi segala tetek bengek pelajaran di kelas selama beberapa jam.

Sama seperti yang lainnya, keempat orang itu juga menjadikan Kafetaria sebagai tempat bersantai setelah penat belajar, dengan duduk santai dan juga mengisi perut yang keroncongan. Meskipun Angga dan Reihan sebenarnya berada di jurusan berbeda dengan Dina dan Reina, entah bagaimana—paling tidak satu kali seminggu—mereka bisa berkumpul seperti ini dan akhirnya menjadi akrab lebih cepat dari yang bisa dibayangkan.

Yah, meskipun salah satu dari mereka masih sibuk dengan laptopnya tanpa mengeluarkan satu kata pun dari mulut, sepertinya yang lain hanya membiarkannya karena sudah terbiasa. Siapa lagi kalau bukan Reina.

Reihan dan Angga sedang asik dengan ponselnya. Kata Reihan tadi sebelum mereka mulai main, mereka ingin battle. Reina hanya mengiyakan, lagipula ia tidak paham maksudnya apa. Dalam hati merasa senang karena mereka sudah mulai akur. Walau sesekali masih saja terjadi adu mulut, karena tidak ada yang mau mengalah.

Meski begitu, dapat ia rasakan kini kesehariannya sudah jadi lebih tenang setelah kedua orang itu membicarakan masalah mereka di restoran. Sampai sekarang, Reina masih tidak tahu apa masalah mereka. Namun karena masalahnya sudah beres, jadi tidak apa-apa juga, kan?

Sedangkan Dina, ia sedang asik makan sekarang. "Makan untuk hidup dan hidup untuk makan." Reina mendengar Dina mengucapkan hal itu sebelum akhirnya melahap makanannya yang berporsi kuli. Mungkin Dina sedang frustrasi dan marah dalam satu waktu setelah menghadapi mata pelajaran tersulit baginya; Kalkulus. Ditambah Dosen yang mengajarinya adalah Alfred.

Reina sendiri sedang memeriksa untuk kedua kalinya materi yang akan digunakan untuk presentasi minggu depan. Memastikan semuanya lengkap dan tak bercelah sebisa mungkin. Supaya ia hanya perlu melakukannya sekali lagi nanti, sehari sebelum presentasi.

Reina mengangkat pandangan saat mendengar keributan dari Reihan dan Angga. Dilihatnya, mereka berdua sedang mendebatkan sesuatu—Reina tebak soal game yang mereka mainkan, karena setelahnya Angga mulai meledek Reihan dengan mengatakan, "Payah! Gitu aja kalah!" Lalu melihat Reihan mendecih.

Matanya lalu melirik Dina yang akhirnya berhasil melahap semua makanan di depannya. Reina menyodorkan tisu. Sepertinya energi dan semangat sahabatnya itu sudah terisi penuh. Buktinya, dia kembali mengembangkan senyum yang menurut Reina sangat manis.

Masih dengan senyum manis, Dina bertanya, "Rei gak makan?"

Reina menggeleng cepat, "Nanti saja."
Namun ternyata, seseorang dengan nama Rei juga ikut menyahut, "Aku sudah makan kok."

Dengan cepat Dina menatap Reihan dengan tatapan aku-tidak-bertanya-padamu, tapi hanya dibalasnya senyam-senyum tidak jelas. Bukannya melempar protes, Dina malah membuang muka setelah melihatnya.

Reina merasa kehangatan memenuhi hatinya. Sesuatu yang asing—lebih tepatnya, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan. Ada rasa senang bercampur takut menghinggapinya sekarang. Bersama orang-orang ini membuatnya bahagia. Namun, ia juga takut jika suatu saat ikatan ini akan kembali direnggut darinya.

Dina yang tiba-tiba berdiri mampu mengalihkan pikirannya. Dina kelihatan kesal dan sedikit … sedih? Reina tidak yakin. "Aku baru ingat. Aku harus ke suatu tempat sekarang," ucapnya sembari mengaitkan tas ransel ke punggung.

Reina mengerjap, merasakan Angga dan Reihan juga menatap Dina dengan bingung lalu bertanya, "Mau ke mana?"

Dina mendengkus lalu beranjak dari bangkunya. Reina bisa melihat tatapan Dina kosong untuk beberapa saat. "Ke tempat yang menyebalkan—tapi well, aku tetap harus ke sana." Gadis itu menyinggung seulas senyum paksa sebelum akhirnya beranjak pergi.

Step ForwardWhere stories live. Discover now