l i m a b e l a s

15 8 0
                                    

Reina mengelap bibirnya yang kering, tenggorokannya terasa sakit saat berkata, "Sepertinya, aku mulai mengingat sesuatu yang seharusnya tidak kuingat."

Reihan tidak segera memberi reaksi. Reina tahu ini terlalu tiba-tiba, apalagi sebelumnya mereka benar-benar menghindari seluruh pembicaraan tetang kakaknya itu. Bahkan, saat mulutnya mengatakan nama itu lagi, dadanya terasa sesak.

Namun, karena itulah ia harus membicarakannya. Karena laki-laki yang ada di hadapannya saat ini adalah orang yang menjadi saksi seluruh kehidupannya. Dia pasti tahu sesuatu. Sesuatu tentang ingatan yang tiba-tiba muncul ini.

Terdiam lama, tanpa diduga Reihan tiba-tiba menarik seulas senyum yang kelihatan dipaksa. Di mata Reina, Reihan sama sekali tidak sedang tersenyum sekarang.

"Sepertinya kamu kelelahan, Rei. "

Ah … jadi begitu.

Membicarakannya … masih terlalu sakit untukmu, Rei?

Reina tak kuasa membalas. Ia sangat mengerti penderitaan yang dialami Reihan. Luka di dalam hatinya belum sembuh. Kalau sudah begini, Reina juga tidak bisa memaksakan Reihan untuk membantunya mencari tahu.

Mengapa kepalanya tiba-tiba terasa sakit, mengapa ia melupakan percakapannya dengan Raisa saat itu, atau mengapa ia tiba-tiba mengingatnya sekarang—perasaan gelisah yang mengelilinginya saat ini … mungkin memang seharusnya ia tidak cari tahu lebih dalam. Atau paling tidak, tidak untuk saat ini.

Reina hanya perlu fokus pada saat ini. Saat di mana akhirnya ia mulai menerima lagi keberadaan orang-orang di sekitarnya. Memulai semuanya dari awal lagi.

Ya, mungkin harusnya begitu.

Sebuah elusan di puncak kepala membuat Reina kembali mendongak. Ekspresi Reihan kembali kelihatan khawatir. "Jangan dipaksakan memikirkan sekarang, hm? Istirahat saja dulu. Kamu sudah membuatku sangat khawatir, tahu."

Reihan mengalihkan pembicaraan.

Reina tahu itu. Tapi pada akhirnya ia mengangguk dan kembali merebahkan diri. Tubuhnya ia hadapkan pada Dina yang masih terlihat lelap tertidur. Dan mulai meringis saat melihat pipi gadis itu.

Bahkan bekas pukulan yang dimiliki Dina kelihatan lebih sakit. Kelihatan seperti perbuatan yang dilakukan laki-laki. Bisa dipastikan lebam itu akan membengkak cukup besar. Reina jadi bertanya-tanya ke mana Dina pergi tadi, dan mengapa ia malah pulang dengan bekas luka seperti ini.

Apa mungkin ia berkelahi? Dina yang Reina kenal tidak melakukannya. Meski tampilannya tomboi dan kadang bersikap dengan sikap barbar seperti gadis nakal, ia tak pernah benar-benar berkelahi. Hanya sifatnya yang cenderung bebas itu saja yang membuatnya sulit didekati. Dia juga bukan orang yang akan melayangkan pukulan secara membabi buta tanpa sebab. Paling tidak, Reina tahu itu.

"Aku tahu kamu khawatir. Tapi sebelum memikirkan orang lain, perhatikan dirimu sendiri, Rei." Reihan menghela napas lalu melipat tangannya di dada, siap dengan segudang ceramahan yang sepertinya harus Reina terima tanpa protes.

"Aku kan sudah bilang berhati-hati dengan orang itu. Kalau saja kamu tidak ikut dengannya dan menungguku di perpustakaan seperti biasa, semuanya pasti tidak jadi seperti ini."

"Reihan. Bukannya aku sudah bilang semuanya bukan salah Kak Angga?"

"Kamu membelanya lagi." Reihan mendengkus, lalu memalingkan wajahnya yang kelihatan masam, "Kamu bahkan memanggilnya 'Kakak' sekarang. Sebenarnya apa yang kalian lakukan selama aku tidak ada tadi?"

"Reihan, pelankan suaramu, oke?" Reina memelankan suaranya, tangannya bergerak mencoba membuat Dina yang tadi kelihatan terganggu dalam tidurnya kembali tenang. Setelahnya, barulah ia berucap lagi dengan suara yang lebih kecil, "Kami hanya ke ruang musik. Tidak banyak hal yang terjadi."

Step ForwardWhere stories live. Discover now