Part 20

55.1K 1.7K 15
                                    

Silau sinar mentari dari balik tirai rumah sakit, nyatanya mampu membuat Bara tertanggung, meski tidurnya sempat pulas, saking lelahnya ia menunggu Andini sepanjang malam. Sampai saat matanya sepenuhnya terbuka, menampilkan ruangan luas bercat putih dengan bau khas obat-obatan.

"Di mana Andini?" gumam Bara terkejut, kala tak mendapati wanita yang semalaman terbaring di atas ranjang ruangan tersebut.

"Astaga, wanita itu." Bara menggeram marah sembari berjalan ke sembarang arah untuk mencari keberadaan Andini termasuk di kamar mandi. Namun, tidak ada satu pun orang yang Bara temui di sana. Membuatnya kian marah dan berpikir bila Andini sengaja pergi untuk kabur darinya.

"Awas saja bila dia memang ingin kabur." Bara kembali bergumam, dengan ekspresinya yang sangat terlihat emosi. Sampai saat suara knop pintu tertarik, membuat Bara seketika menoleh ke asal suara untuk menanti siapa gerangan yang datang.

"Oh, Pak Bara sudah bangun?" Seorang suster dengan ekspresi ramahnya, membuat Bara menaikan salah satu alisnya dengan sorot mata bingung.

"Di mana Andini?"

"Tadi dibawa Suster Via ke taman, Pak. Saya ke sini ingin membangunkan Pak Bara, karena Nona Andini pasti sedang sendiri di sana. Kan Suster Via masih banyak pekerjaanya ...." Suster tersebut tak melanjutkan ucapannya, karena Bara segera pergi tanpa ada kata pamit sebelumnya.

"Keponakannya yang punya rumah sakit itu songong sekali. Ganteng sih, tapi enggak punya sopan santun. Bilang terima kasih kek, atau setidaknya pamit pergi dulu lah. Menyebalkan."

***

Andini dibuat terdiam, kala matanya menatap taman indah di depannya. Memang benar, apa yang dikatakan perawat yang saat ini tengah mendorong kursi rodanya. Rasanya memang begitu menenangkan, di mana banyak bunga yang bermekaran di sana. Selain ada berbagai bunga mawar yang Andini tahu, di taman tersebut juga ada berbagai bunga yang memang belum Andini temui sebelumnya.

Menyenangkan, saat roda yang ditumpangi Andini semakin masuk ke dalam memasuki taman. Terlebih lagi, banyak orang-orang yang begitu asyik bermain, padahal hari masih bisa dikatakan pagi. Membuat bibir Andini tersenyum, menatap kegembiraan mereka yang seolah tak memiliki beban. Padahal, mereka sedang sakit, tubuh mereka lemah bila dibandingkan dengan yang lain di luaran sana.

"Nona Andini, saya tinggal dulu ya? Karena saya akan ke bagian makanan, untuk mengambilkan anda sarapan." Andini hanya mengangguk pelan, kala perawat itu berpamitan ingin pergi.

Di dalam kediamannya, Andini benar-benar menikmati suasana pagi di taman tersebut. Rasanya, beban pikiran yang sempat membelenggunya seolah musnah seiring matanya menjelajah ke sembarang arah, di mana banyak bunga yang begitu indah bermekaran di setiap sudut. Sampai saat Andini berpikir untuk menjalankan kursi rodanya, karena Andini belum pernah memakainya, Andini dibuat cukup kesusahan, terlebih lagi ke dua tangannya yang masih terluka dan diinfus, membuatnya semakin kesusahan menjalankan kursi rodanya. Sampai saat kursi roda yang ditumpanginya serasa ringan berjalan, seolah ada orang yang mendorongnya.

"Selamat pagi, Andini." Suara seseorang yang cukup familiar di telinganya itu menyapa hangat, membuat Andini seketika menoleh ke arah belakang dan mendapati dokter Ali di belakangnya tengah mendorong kursi rodanya.

"Dokter ... Ali? Kenapa bisa ada di sini?" Andini bertanya sopan meski ada keraguan di beberapa bagian kalimatnya.

"Kan saya Dokter di sini, tentu saja saya akan ada di rumah sakit ini." Ali menjawab tenang, sembari fokus mendorong kursi roda Andini.

"Bukan begitu maksud saya, Dok. Maksud saya, kenapa anda ada di taman ini dan tiba-tiba mendorong kursi roda saya." Ali langsung tertawa kecil mendengar ucapan Andini yang terdengar gemas dengan jawabannya.

My Bastard Boss (21+) (TAMAT)Where stories live. Discover now