Chapter 8

3K 416 33
                                    

Peningku bergelayut ketika tubuhku mengerjap. Perlahan kesadaranku mulai mengalir dan kulihat langit-langit goa ketika membuka mata. Aku tebaring di atas tumpukan jerami dan kulihat perapian sudah menyala.

Aku mencoba untuk duduk sambil memegangi kepalaku yang ternyata—sudah di perban. Kemudian aku menyentuh ulu hatiku yang terasa seperti ada yang mengganjal. Kulihat sebuah buntalan kain yang entah apa isinya namun terasa hangat di kulit. Apa—Velian tahu ada memar di perutku?

"Kau sudah sadar rupanya."

Aku menoleh ketika sosok pria berambut perak masuk dari luar goa. Kulihat Aleea mulai membaik dan ia sudah segar kembali.

"Tunggu sebentar," ujarnya lagi kemudian keluar.

Tak lama mereka bertiga masuk, wajah mereka begitu cemas melihatku namun aku juga melihat kelegaan di mata mereka setelah melihat kondisiku.

"Valen, bagaimana kondisimu?" Zealda yang pertama kali bertanya.

"Yah, kondisiku mulai membaik."

"Bagaimana kau bisa mendapat luka seperti itu? Kau berkelahi dengan Velian?" Kini Aleea yang bertanya.

Aku diam sejenak, menatap Velian yang juga menatapku.

"Menurutmu?" Kini tatapanku kembali pada Aleea.

"Jika kau seperti ini karena kau berkelahi dengan Velian, aku akan benar-benar menghajarnya." Aleea menatap Velian sedikit sinis. "Ini sudah keterlaluan."

"Aku dan Velian sama sekali tidak berkelahi," timpalku. "Aku berkelahi dengan seseorang dan Velian menyelamatkanku."

"Dengan siapa?" Zealda sudah menatapku dengan maksud menyelidik.

"Sarah," jawab Velian gamblang.

"Sarah?" Aleea memiringkan kepala dengan heran. "Maksudmu—Sarah putri paman Thomas?"

Velian mengangguk tanpa menjawab, dan sedetik kemudian ia kembali menatapku. "Aku senang kau sadar. Dan—untung saja kau tidak gegarotak, tengkorakmu sukup keras ternyata."

Zealda melemparkan belati ke arah papan kayu hingga berbunyi nyaring. "Ternyata gadis itu ingin bermain-main denganku," ujarnya sambil mengepalkan tangan sambil tersenyum miring. "Berani sekali dia menyentuh anggota kami."

Aku mengerutkan kening seketika melihat tingkahnya. "Ze-Zealda kau—"

"Sebenarnya aku tidak menyukai gadis itu," gumamnya menyela. "Dan alasan mengapa aku selalu menolak bergabung dengan kita karena wajahnya terlalu banyak intrik."

"Maksudmu—wajah yang terlalu banya intrik itu yang seperti apa?" Aleea menatap Zealda dengan wajah ngeri. "Kau terlihat seperti tukang sihir."

Zealda menyeringai lebar ke arah Aleea. "Kau sedang mengejekku bocah?" Zealda merangkulnya sambil menyeretnya keluar dengan paksa. "Sini kuberi kau pelajaran."

Aku tersenyum karena melihat sedikit candaan diantara mereka.

"Zealda itu—" Velian terduduk disampingku sambil bercerita. "Seperti memiliki kemampuan istimewa. Dia bisa melihat karakter seseorang hanya dengan melihat wajahnya saja, jarang sekali ada orang yang seperti itu." Ia melepas perban di kepalaku perlahan sementara aku masih mendengarkannya. "Meskipun aku yang memimpin kelompok ini, tapi untuk masalah perekrutan anggota kuserahkan pada keputusannya. Dari dulu Sarah ingin bergabung dengan kami, tapi Zealda menolaknya dengan alasan terlalu banyak tipu muslihat katanya."

"Jadi—kau menerimaku sebagai anggota juga karena persetujuan Zealda?" Aku memekik kesakitan ketika Velian mengoleskan cairan kental di kepalaku.

"Ya," jawabnya. "Jujur saja, pada saat aku menolongmu waktu itu, aku hanya berniat menolongmu saja. Tapi begitu melihatmu, Zealda langsung memintaku untuk merekrutmu. Jika kau tidak mau bergabung, maka aku yang harus mengancammu. Begitupun dengan Aleea yang juga langsung setuju, aku tidak menyangka kalau dia juga turut mengancammu."

AssassinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang