Chapter 19

2.9K 409 148
                                    

Aku membuka mata dengan berat disertai rasa nyeri di dada kananku. Kulihat ramuan herbal dengan balutan perban yang melilit di sepanjang bahu kananku, dan butuh waktu untuk menyadari bahwa tubuhku hanya berbalut selimut.

Kuedarkan pandangan dan kudapati tempat tidur yang berbeda dari biasanya. Kali ini begitu mewah dari kamarku sebelumnya.

"Tuan putri sudah sadar."

Kulihat wanita tua terlihat semringah dengan mata sedikit berkaca-kaca saat melihatku. Ia langsung beranjak keluar dengan sedikit keributan.

"Yang mulia, tuan putri sudah sadar!" gaduhnya di luar sana.

Tak lama seorang pria dengan penampilan khas pangeran agung masuk ke kamar dan menatap wajah pucatku.

"Bibi Athea, siapkan makanan dan pakaian."

"Baik yang mulia."

Tak lama bibi Athea pergi dan kini tinggal kami berdua. Pikiranku masih menolak kenyataan bahwa aku—telah menikah dengannya. Hari itu—rasanya seperti mimpi buruk. Aku langsung merapatkan selimut untuk menutupi tubuhku ketika dia mendekat.

"Aku sama sekali belum menyentuhmu. Jadi jangan pernah berpikir aku telah melakukannya disaat kau tak sadarkan diri," ujarnya setelah melihat reaksiku. "Tapi—aku tak menyangka itu akan memakan waktu selama dua minggu. Mungkin karena efek racunnya yang menyebar dengan cepat di tambah efek penawarnya membutuhkan waktu lama untuk memurnikan tubuhmu dari racun."

Aku merasa lega dengan penuturannya sekaligus tak menyangka dengan sikapnya yang berbanding terbalik dengan ancamannya sebelum ini. Tapi apakah—sikapnya berubah karena sekarang aku istrinya? Aku segera menepis tangannya ketika ia hendak menyentuh rambutku.

"Kau bahkan masih belum mau disentuh suamimu sendiri?"

"Pernikahan ini—aku tak pernah menginginkannya," sahutku.

"Aku tahu, aku juga tak menginginkannya, tapi—aku sangat berterimakasih padamu. Berkat dirimu, aku tidak menikah dengan putri Chelia. Terimakasih sudah membantuku menolak perjodohanku dengannya."

"Seharusnya aku tidak terlibat dalam masalahmu!" geramku.

"Jika kau tidak ingin menikah denganku, kenapa kau memenangkan pertandingan itu?" tanyanya sambil terduduk di tepi ranjang. "Seperti katamu, kau tidak mudah mati. Kau seharusnya mengalah dan sekarat untuk pura-pura mati. Tapi kenapa kau justru memenangkannya? Apa kau mulai tertarik dengan tawaranku untuk menjadi putri mahkota?"

Aku menatapnya lekat, berharap menemukan sesuatu yang dapat meruntuhkannya. Tapi yang kudapatkan hanya keteguhan dan juga—bayangan diriku di matanya.

"Dibanding tawaranmu, aku lebih memikirkan ancamanmu," jawabku menutupi kebenaran bahwa aku memang tidak ingin mati. "Menikah denganmu atau tidak, kau sudah mengatakannya kalau kau tidak akan melepaskanku."

"Nah, kau tahu itu. Dan kau juga pasti tahu alasan kenapa aku melakukannya." Ia mendekatkan wajahnya dan berbisik. "Kau sudah membohongiku kalau kau ternyata seorang Assassin. Sekelompok pembunuh yang paling kubenci."

Mataku menyipit tajam. "Dan aku tidak menyangka kau mau menikah dengan Assassin sepertiku," sahutku membalas bisikannya.

"Kau adalah pengecualian. Aku lebih memandang statusmu sebagai tuan putri terhormat dari pada seorang pembunuh." Ia menyeringai.

Aku terdiam sejenak. "Kau tidak takut aku akan melakukan kudeta?"

Ia tersenyum miring. "Untuk apa kau melakukan kudeta? Kedudukan yang kau inginkan sudah di tanganmu. Sekarang statusmu adalah putri mahkota, dan kau adalah calon ratu berikutnya jika aku menjadi raja. Apa kudeta masih diperlukan untuk merebut tahta yang kini sudah kau raih?"

AssassinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang