Chapter 16

2.8K 396 117
                                    

Tiga hari telah berlalu, latihan demi latihan kami jalani untuk mempersiapkan misi berikutnya. Kini tambah lagi satu orang di kelompok kami. Kulihat Liz sama sekali tidak berbahaya meskipun terkadang kami begitu waspada padanya. Tapi setelah dipikir-pikir Lavina juga tidak seburuk yang kupikirkan. Sikapnya memang sedikit urakan, tapi itu tak menganggu kami sedikitpun.

Aleea membuka selembar perkamen besar yang berisi sebuah peta yang entah dari mana ia mendapatkannya. Itu bukan peta istana melainkan peta sebuah kediaman yang bisa dipastikan bangunanannya megah dan memiliki halam luas. Misi kali ini menculik kepala Menteri yang di duga terlibat pada peristiwa sihir itu, Nyonya Jevera.

Sesekali aku melirik gadis yang sedang terduduk dengan gaya angkuhnya di tengah latihan. Ia hanya menonton dan mengamati kami latihan sambil memakan buah yang ia dapat dari hasil mencuri dari kebun seseorang. Ya, saat ini dia bukan Liz, melainkan Lavina.

Keningku berkerut ketika menatapnya. Wajah Liz yang lemah lembut berubah tegas dan lugas seketika. Awalnya sangat mengganggu sekali, tapi semakin bertambah hari, aku mulai terbiasa dengan pergantian sikapnya yang tergolong ekstrim.

"Setelah latihan, aku ingin meminjam senjata kalian," ujarnya sambil menyangga dagu. "Kupikir akan lebih menarik jika senjata kalian di gabungkan dengan sihirkku.

"Kau tidak bermaksud merubah belatiku menjadi sapu terbang kan?" Aku tahu Zealda sedang bercanda, tapi kekurangannya adalah ia memasang wajah serius ketika mengatakannya.

"Kau pikir aku penyihir amatiran?" balas Lavina. "Untuk apa aku repot-repot memakai sapu terbang sedangkan aku bisa berteleport sesuka hati."

"Nah itu dia!" tukas Aleea. "Teleport. Kita memerlukannya."

Semua mata kini tertuju pada Aleea.

"Yah, tapi teleport membutuhkan energi yang besar. Kalian harus melewati beberapa proses untuk melakukannya." Lavina menyahut sambil melompat dari tempat duduknya. "Untuk pemula seperti kalian, mungkin sebaiknya jangan sering melakukan teleport kalau tidak mau mati konyol."

"Setidaknya kami akan mencobanya jika kau berkenan memberitahu kami caranya." Kini Velian yang bersuara.

Ini menarik, untuk menghadapi sihir, kemampuan bertarung kami sebagai Assassin mungkin belum cukup jika tidak dilengkapi sihir. Tapi—jika menggunakan sihir terlalu beresiko, mungkin kami bisa menggunakannya disaat darurat saja.

"Baiklah, pertama-tama serahkan semua senjata kalian yang akan digunakan. Kalian bisa sembari istirahat atau siapakan makanan untukku lebih baik." Lavina melipat tangan dengan gaya sok berkuasa.

Yap, ini adalah bagian yang tidak kami suka. Dia seperti tukang suruh rumahan yang amatiran. Tapi—apa boleh buat, kami harus menerimanya karena kami tahu disana ada Liz.

"Baiklah. Aku percayakan senjataku padamu," sahutku. "Kau akan mendapat makan siang setelah kau menyelesaikannya."

Ia mendengus dengan seringai mengejek. "Sebelum kalian selesai menyiapkan makan siang, aku akan selesai terlebih dahulu. Dan kau—kusarankan untuk belajar masak." Ia berjalan melewatiku begitu saja. "Gadis-gadis di distrikmu, semuanya wanita feminim yang pandai memasak. Kalau kau sok jantan begitu, mana ada pria yang akan menyukaimu," lanjutnya dengan nada menyebalkan.

"Oh." Aku menyeringai sejenak. "Apa kau pikir ada pria yang akan menyukaimu?"

"Setidaknya Liz memiliki banyak pria yang menyukainya." Ia tersenyum menang dan itu sangat menyebalkan. "Kau kalah telak."

Ia tertawa dan hatiku merasa sebal seketika. Aku tahu dia sedang bercanda dengan cara menyindirku. Meskipun menyebalkan tapi aku merasa justru dengan cara inilah kami bisa akrab.

AssassinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang