Chapter 33

2.5K 395 263
                                    

Aku terbaring dengan nyaman setelah pakaianku di ganti. Sorak bahagia nan ramai membuat suasana riuh di luar sana atas berhasilnya mengusir pasukan Vainea, bahkan mereka merasa bangga karena berhasil menumbangkan seorang putra mahkota. Aku tidak tahu apakah kabar kematiannya sudah sampai ke Vainea atau belum, yang jelas raja Vainea pasti akan murka dan menuntut balas.

Meskipun saat ini aku tak merasakan apapun, namun kesadaranku masih bisa kukendalikan bahkan telingaku terasa lebih peka dari biasanya. Aku mencium aroma wangi di pembaringanku dan mungkin saat ini aku terbaring dalam posisi elegan.

Dua hari telah berlalu. Demi menyelamatkanku, Erick menyebarkan kabar kematianku pada semua orang termasuk bibi Athea dan yang mulia ratu, meskipun sebenarnya berita ini tidak berpengaruh pada Velian.

Mereka yang sebelumnya bersorak kini berkabung atas kematianku dan raja Herrian. Sorakan yang menyanjungi namaku sebagai tuan putri yang berani dari mereka bisa terdengar oleh telingaku bahkan aku mendapat julukan 'Dewi Perang Yang Gugur'. Kematian Raja Herrian membuat yang mulia ratu tampak frustasi dan tertekan dan kabarnya, ia selalu mengurung diri di ruang duka, sementara Erick terkadang mengunjungiku di tempat yang terasa dingin.

Suara langkah kaki yang begitu lembut mendekatiku untuk pertama kalinya dalam hari ini, kemudian langkah kaki itu berhenti. Mungkin saat ini ia sedang menatapku terbaring tapi yang jelas, sepertinya yang barusan masuk adalah wanita.

"Valen, masih ingat suaraku?"

Itu...suara Lavina.

"Aku tahu kau tidak mati, aku tahu kau bisa mendengarku," ucapnya lagi sambil menyentuh tanganku. "Valen kau tahu? Ada banyak hal yang ingin kukatakan padamu. Kau pasti masih ingat ucapan Zealda saat Velian ingin merekrut Sarah bukan? Dia bilang, jika sesuatu terjadi pada kelompok kita, dia bersumpah akan meninggalkan kelompok ini." Suaranya mulai parau. "Setelah kematian Aleea, kelompok kita hancur dan akhirnya Zealda pergi untuk memenuhi sumpahnya. Aku yang kebingungan ini, terpaksa harus ikut meninggalkan Velian dan pergi bersama Zealda, karena aku tahu Velian tidak sendirian. Aku yakin kau akan setia menemaninya kan?"

Aku tertegun dengan ucapannya sekaligus penasaran bagaimana keadaan Zealda saat ini, apa yang dia lakukan dan jadi apa dia sekarang.

"Hanya satu pesanku Valen," lanjutnya dengan berbisik. "Apapun yang terjadi, jangan pernah tinggalkan Velian. Dia sudah menanggung banyak beban dan dia tidak memiliki siapa-siapa saat ini kecuali dirimu. Aku dan Zealda berjanji, akan membebaskan kalian agar kalian bisa saling mencintai dengan tenang."

"Aku sudah tak peduli lagi." Ingin sekali aku mengatakan hal itu padanya, namun semua kalimatku hanya tertahan dan berkumpul dalam benakku. "Karena bagaimanapun, aku akan mati. Meskipun aku tak ingin meninggalkannya, tapi suatu saat nanti aku akan tetap pergi dengan kematianku di ujung pedangnya."

"Apa kau sudah mengecek kondisinya?" Seseorang masuk dan itu seperti suara Erick.

"Sudah yang mulia," sahut Lavina terdengar kaget. "Kondisinya mulai stabil dan mungkin dia akan kembali bangun paling cepat setengah bulan dari sekarang."

"Baiklah, tapi...tunggu! Jangan sampai rahasia ini bocor pada siapapun bahwa tuan putri masih hidup."

"Baik yang mulia. Saya permisi."

Langkah Erick mendekatiku sementara Lavina pergi menjauh. Sentuhan lembut menyusuri pipiku disusul helaan nafas yang terdengar gelisah.

"Aku sudah memikirkan cara agar kau bisa pergi dari sini." Erick menggenggam jemariku sejenak sebelum memakai kan sesuatu yang sepertinya sebuah cincin. "Aku juga sudah mempersiapkan tempat yang aman untukmu."

Aku tidak tahu bagaimana perasaanku saat ini, aku juga tidak berani mengambil kesimpulan bahwa aku mulai menyukai Erick atau hanya sekedar ingin berterimakasih, tapi yang jelas sebagian besar hatiku masih tertuju pada Velian meskipun aku tahu bagaimana akhir dari kehidupanku.

AssassinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang