Chapter 22

2.6K 403 163
                                    

Pikiranku begitu jernih namun tubuhku masih enggan untuk bergerak. Telingaku mendengar namun mataku engggan terbuka. Suara bising, rayuan para selir, kekhawatiran, rasa cemas terdengar silih berganti. Aroma herbal, makanan, dan salju juga kucium silih berganti. Sesekali aku merasakan sentuhan lembut membelai rambutku.

"Seperti yang ayah lihat bukan? Dia sama sekali belum di beri penawar racun, tapi dia masih hidup hingga saat ini. Apa kau masih berpikir bahwa dia seorang Shirea?" Itu suara Erick.

"Seharusnya kau tidak menikahinya. Dia akan membawa kehancuran bagi kita, dan yang pasti posisimu akan terancam."

"Posisiku atau posisi ayah?"

"Erick!"

"Ayah sudah memberiku kekuasaan, dan aku memiliki hak yang berdaulat atas Valen. Jika dengan ini ayah ingin mencabut kembali kekuasaanku, silahkan! Aku akan pergi dari sini bersama Valen dan ayah akan menjadi raja seumur hidup tanpa adanya pewaris."

"Erick! Kau bahkan sekarang berani mengancamku?"

"Itu adalah fakta yang akan datang."

"Baiklah. Jika dia memang putri Victor, aku akan mengirim pasukan untuk mencari Shirea-nya. Tidak peduli dia dari kalangan bangsawan atau rakyat biasa, dia harus mati."

"Kalau ayah sudah berhasil membunuh Shirea-nya, aku yang akan menggantikannya."

"Apa maksudmu?"

"Langkahi mayatku jika kau ingin membunuh Valen."

"Erick! Apa kau ingin menyatakan perang denganku hanya untuk gadis itu? Aku bukan hanya melepas kedudukanmu, tapi juga mengirimmu ke penjara dan memenggal kepalamu!"

"Penggallah kepalaku sebelum kau melakukannya!" Kini suara ratu muncul. "Meskipun suatu saat nanti kau tidak mau mengakuinya sebagai anakmu, tapi dia masih anakku!"

Aku tidak tahu apa yang terjadi diluar kamar tapi pembicaraan mereka terdengar jelas dan sepertinya—situasinya cukup menegangkan. Raja, ratu dan putra mahkota berseteru. Bagi rakyat jelata, mungkin kehidupan di istana itu nyaman dan penuh kesenangan, tapi sebenanrnya penuh dengan konflik yang berbahaya atau bahkan yang mengancam nyawa, tentang skandal dan perebutan kekuasaan yang sengit membuat istana menjadi tempat yang paling mengerikan.

Entah sudah berapa hari semenjak perdebatan itu, sampai sekarang tubuhku masih enggan untuk bergerak. Dan kini aku merasa ada yang mendekat dan duduk di samping pembaringanku, aroma tubuhnya memberitahuku bahwa dia adalah Erick. Entah apa yang dia lakukan di sampingku, tapi dia tidak menyentuhku sama sekali.

Aku berusaha menggerakan tanganku dengan berat dan jemariku berhasil bergerak sedikit. Tentu saja, pergerakanku membuat Erick yang sedari tadi di sampingku langsung menagkap tanganku. Aku menggerakkan jariku lagi, bukan hanya itu aku juga beruusaha membuka mata.

Aku tahu aku tak akan mati karena aku sudah meminum ramuan itu, tapi rasa sakit dan tubuh tak berdaya ini membuatku lelah dengan pembaringanku.

"Valen."

Setelah tanganku berhasil bergerak, tubuhku mulai terasa ringan. Mataku sudah bisa terbuka perlahan dan kulihat Erick sudah tampak cemas dan juga lega.

"Bibi, panggil tabib!"

"Baik."

"Tetaplah terbaring."

"Terimakasih," lirihku tulus.

Tak lama seorang tabib wanita datang dan mulai mengecek kondisiku. Dari wajahnya yang memakai penutup akibat luka bakar aku langsung tahu bahwa itu adalah Lavina. Ia meminta Erick dan bibi Athea untuk menungggu diluar agar pemeriksaan berjalan tanpa tergangggu, merekapun menuruti tabib itu. Setelah pintu dituutup, Lavina langsung membuka penyamaranya.

AssassinWhere stories live. Discover now