Chapter 12

3.3K 432 231
                                    

Aku duduk sambil mengoleskan obat untuk kulit terbakar yang terasa pedih. Aku meringis kesakitan sambil menggigit kain untuk menahan perih yang membuat tubuhku sedikit bergetar. Aku melarang mereka masuk sampai proses pengobatanku selesai, karena aku tak memakai pakaian. Jika aku tidak berlari ke hamparan salju, mungkin aku akan sekarat dan mati. Tak lupa juga membalut luka di bahu dan pinggangku dan beberapa luka sayatan akibat pertarunganku tadi.

Meskipun sakit, tapi aku bersyukur karena luka bakarnya tidak terlalu fatal. Tapi jaket tebalku terbakar meskipun tak sepenuhnya hangus. Aku tidak bisa membayangkan jika aku tidak menggunakan pakaian tebal, mungkin kulitku akan terbakar api secara langsung. Luka terparah di bagian paha hingga kaki, karena posisiku di perapian waktu itu berlutut dan sedikit tersungkur dan tanganku juga ikut terbakar.

Aku mengambil kain besar dengan susah payah kemudian melilitkannya untuk menutupi tubuhku layaknya jubah yang tak membentuk lengan.

"Kalian boleh masuk!" teriakku dari dalam.

Tak lama mereka bertiga masuk sambil memeluk diri masing-masing akibat kedinginan. Tapi yang membuat mataku menyipit tak suka adalah—gadis itu masih di sini.

"Hari sudah hampir malam, dia akan pulang besok pagi," ujar Velian setelah melihat reaksiku.

"Yah, tidak masalah asal dia tidak berulah." Aku menarik nafas panjang. "Lagi pula hanya satu malam lagi."

"Kenapa kalian berpikir hanya dia yang terluka?" tukas Sarah tak terima. "Lalu bagaimana denganku? Kalian ingin aku pulang dengan keadaan seperti ini?"

Aku mengamati tubuhnya yang emang sudah berlumuran darah akibat seranganku. "Jika kau tidak mendorongku ke bara api, aku tidak akan sekalap itu menyakitimu."

"Sarah, sebaiknya lukamu juga harus segera di obati. "Aleea mengambil beberapa obat oles yang tak jauh dariku. "Kemarilah!"

"Aku akan mengobati lukaku sendiri," sautnya angkuh. Sarah merebut obat-obatan ditangan Aleea dengan kasar kemudian duduk bersandar di batu. "Bisakah kalian keluar sebentar?"

Mereka mulai bergerak dengan malas untuk mengambil jaket masing-masing kemudian keluar sesuai permintaan Sarah.

Aku masih terdiam ketika melihat Sarah mulai membuka pakaiannya. Mataku melebar ketika melihat sekujur tubuhnya penuh dengan luka sayatan yang ternyata lebih mengerikan dari kelihatannya tadi. Aku merasa bersalah seketika karena telah membuat tubuh indahnya menjadi carut marut begitu. Sesekali ia merintih kesakitan sambil membersihkan darah di luka-lukanya.

Aku memalingkan wajahku keperapian. Meskipun aku merasa berasalah, aku tidak perlu meminta maaf bukan? Dia juga membuat tubuhku seperti ini. Tapi tetap saja, hatiku sedikit tidak tega meskipun dia menyebalkan.

Aku mengacak-acak tasku untuk mencari kain yang lain sambil berharap ada masih selembar kain. Aku menarik nafas lega setelah menarik sehelai kain lebar yang biasa kupakai untuk selimut di musim panas.

"Pakai ini untuk menutupi tubuhmu." Aku melemparkan kain itu padanya. "Lukamu terlalu banyak, jadi untuk sementara jangan pakai pakaian yang membuat kulitmu pedih."

"Maaf aku tidak sejalang itu." Ia menyeringai dan melemparkan kembali kain itu padaku. "Aku tidak sepertimu yang rela tak memakai pakaian di hadapan pria."

Aku mendengus kesal. "Kau masih menganggapku seperti itu?"

"Tentu saja. Aku sudah melihat dirimu yang sebenarnya. Kau pikir aku tidak tahu dibalik selimut itu kau sebenarnya telanjang." Ia kembali mengoleskan obat pada lukanya.

"Wajar jika aku tak mengenakan pakaian. Aku menghindari kulitku dari gesekan ketat atau lukaku takan bisa sembuh. Lagi pula—aku tak sepenuhnya telanjang."

AssassinWhere stories live. Discover now