Chapter 21

2.7K 406 110
                                    

Aku memacu kudaku dengan berat hati setelah berpisah dengan Velian. Perasaanku menjadi carut marut seketika dengan debaran aneh yang sebelumnya pernah kurasakan meskipun tidak separah ini. Udara dingin menyapu wajahku hingga rasanya terasa beku. Uap putih berhembus seiring nafasku yang teratur.

Tak lama aku sampai di sebuah tempat dimana aku berpisah dengan Erick. Berdasarkan prosedur, aku harus menunggunya di sini, tapi tempat ini begitu sepi dan juga lembab. Aku segera mencari tempat yang sedikit kering tak jauh dari tempatku agar bisa menyalakan api sambil menunggu. Seharusnya Erick akan segera kembali.

Aku duduk termenung sambil menggosok kedua tanganku untuk memberikan rasa hangat yang tak seberapa, lalu merapatkan jubah hangatku. Pikiranku kembali melayang pada Velian dan kejadian sebelum ini. Aku tidak mangharapkan waktu terulang, tapi aku juga tidak ingin melupakannya. Wajahku terasa memanas ketika memikirkannya.

Lamunanku buyar ketika mendengar ringkikan kuda yang semakin mendekat. Dia datang!

Seperti dugaanku, Erick datang dengan dua ekor rusa tak berdaya. Wajahnya terlihat lelah luar biasa dan penampilannya benar-benar kumal, tapi satu-satunya yang membuatnya tetap berwibawa adalah lencana dan jubah hangat yang ia kenakan. Aku segera berdiri untuk menyambut kedatangannya dan kulihat wajahnya terlihat lega ketika melihatku.

"Yang mulia!" panggilku refleks.

"Kita harus segera kembali," balasnya setelah jarak kami dekat.

"Kau tidak ingin istirahat sebentar? Kau terlihat lelah."

"Aku akan beristirahat setelah sampai di istana. Aku tidak ingin kau kedinginan terlalu lama di tempat ini."

"Tidak masalah jika aku harus bertahan di tempat seperti ini sebentar lagi. Kau terlihat lelah dan—"

"Valen!" panggilnya lembut dengan nada menekan.

Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk patuh. "Baiklah."

Aku segera mematikan perapian yang belum lama kunyalakan dan segera menungggangi kudaku. Aku melaju beriringan dengannya, sesekali aku melirik wajahnya yang tampak sayu dan—pucat. Aku merasa cemas sejenak dengan kondisinya namun ia ingin terlihat kuat.

"Yang mulia, kau baik-baik saja?" tanyaku pada akhirnya. "Kau terlihat kurang sehat."

Ia memekik pelan lalu hanya menjawab, "Tetaplah melaju."

"Kau yakin baik-baik saja?"

Ia hanya terdiam tanpa mengggubris pertanyaanku hingga aku memutuskan untuk berhenti bertanya. Namun tak lama, ia perlahan ambruk dan memperlambat laju kudanya. Melihat hal itu aku langsung menarik tali kekangnya agar kudanya berhenti.

"Yang mulia, kau baik-baik saja?"

Ia masih tak menjawab namun aku bisa melihat tubuhnya semakin melemas.

"Bertahanlah dan naik ke kudaku."

Aku segera turun dan memapahnya, untung saja ia menurut. Setelah ia naik ke kudaku, aku melingkarkan tangannya di pinggangku lalu mengikatnya agar tidak terlepas.

"Bertahanlah yang mulia."

Aku membiarkan kepalanya terkulai di bahuku dan segera melaju sambil membawa kudanya dengan cemas sambil berharap dia akan baik-baik saja.

"Valen," lirihnya. "Terimakasih." Kemudian membenamkan wajahnya di leherku hingga aku merasakan nafasnya yang hangat di sana.

"Aku pastikan kita akan sampai dengan selamat."

Ia hanya mengangguk lemah kemudian hening.

Setelah hampir memakan waktu lama, akhirnya kami sampai di istana. Kedatangan kami langsung di sambut dengan sorak gembira tanpa mempedulikan orang yang terkulai di belakangku. Bagi mereka mungkin ini hal yang wajar.

AssassinWhere stories live. Discover now