Chapter 23

2.5K 400 178
                                    

Aku segera melepas kain yang melilit di tubuhku setelah melempar jubah milik Erick di kursi. Siraman air mengguyurku ketika aku menuangkannya ke seluruh tubuh. Meskipun pedih, tapi rasa lengketnya mulai memudar dan tubuhku terasa ringan ketika merasa sudah bersih.

Bibi Athea langsung membantuku untuk mengoleskan obat luka sambil menyuarakan serapah terhadap para selir ketika melihat luka-lukaku. Aku turut mengolesi luka-lukaku sendiri untuk bagian lengan dan beberapa bagian yang masih terjangkau oleh pandanganku, sementara bibi Athea sudah mengolesi obat di punggungku.

"Semoga saja mereka mendapat hukuman yang layak." Setidaknya itu adalah serapah terakhir yang kudengar.

"Sudahlah, biarkan saja."

"Tidak bisa begitu!" tukasnya. "Harusnya mereka sadar bahwa status mereka hanya selir nona. Meskipun mereka lebih dulu tinggal di wilayah kediaman putra mahkota, mereka tidak boleh melakukan hal-hal seperti ini apa lagi padamu!"

Aku tersenyum miring mendengar kalimatnya yang tak terlalu formal sesuai harapanku, apakah aku harus membuatnya kesal dulu untuk berbicara non formal seperti ini?

Setelah selesai, aku duduk dengan posisi dagu di atas meja layaknya murid malas sambil menunggu obat-obat di tubuhku mengering. Sambil merenung, kutatap jendela yang berembun beku. Disitu aku tak sengaja melihat Erick keluar dari bangunan besar yang kini kutahu adalah tempat tinggal para selir. Ia berjalan cepat menuju ke mansion sambil menggenggam sesuatu.

Aku tahu setelah ini pasti ia akan menemuiku. Ada rasa malas untuk bertemu dengannya, tapi juga ada rasa ingin bertemu karena ada rasa penasaranku pada suatu hal. Sebenarnya, aku juga merasa risih jika ia melihatku dalam keadaan terbuka seperti, tapi tak ada pilihan lain selain menutup tubuhku apa adanya demi obat-obat di punggung dan lenganku.

Aku mengangkat kepalaku dan mulai duduk menekuk lutut di kursi tanpa sandaran serta masih menatap jendela yang dingin. Aku tidak tahu apakah posisi dudukku akan mendapat kecaman karena tak sesuai dengan cara duduk tuan putri pada umumnya.

"Nona, silahkan diminum tehnya." Bibi Athea meletakkan secangkir teh di atas meja yang kepulan asapnya tercium segar dan hangat.

Aku mengangguk kecil sambil menjawab, "Terimakasih."

"Apa nona kedinginan?"

Aku tahu, mungkin di matanya, posisi dudukku tidaklah wajar. Duduk dengan kaki naik ke kursi mungkin dianggap tidak sopan apa lagi untuk status tuan putri sepertiku, sangat tidak berwibawa dan seperti tak beretika, tapi pada dasarnya aku hanya ingin memeluk lutut untuk merapatkan diri.

"Iya, tapi apa boleh buat," jawabku berusaha menjaga harga diriku. "Obatnya belum mengering."

"Kalau begitu tunggulah beberapa saat lagi, nona. Setelah itu istirahatlah."

Aku mengangguk. "Kau seharian merawatku, kau juga harus istirahat."

"Nona," panggilnya setelah hampir lama bergeming. "Maafkan aku."

"Hmm?"

"Untuk hari ini, aku...tidak menjagamu dengan baik sampai kau harus terluka seperti ini. Seandainya saja...aku lebih teliti untuk memilih pengemudi, mungkin kau takan terjebak oleh para selir."

"Jadi...pengemudi itu suruhan para selir?" Satu pertanyaan yang tertahan akhirnya terjawab. "Apakah orang-orang yang berusaha menyerangku dan berniat membunuh juga suruhan mereka?"

Bibi Athea tampak tertegun dengan pertanyaanku berikutnya. "Kalau itu...aku tidak tahu nona. Aku hanya tahu kalau pengemudi itu adalah suruhan mereka, tapi untuk orang-orang yang kau maksud..." Bibi Athea terdiam sambil berpikir kemudian ia menggeleng pelan dengan dahi berkerut. "Aku tidak menyangka, bahwa mereka akan bertindak lebih jahat dari yang kuduga."

AssassinWhere stories live. Discover now