4. Sindrom Grogi

26.8K 1.5K 48
                                    

Masih lanjut yang kemarin yaaa

Bel pulang sekolah kutanggapi dengan langsung melesat ke kelas bahasa. Nyamperin Ani dengan setengah terburu, menuruni tangga ke lantai tempat kelasnya Ani berada. Yess.. Aku tersenyum melihat sobitku satu itu masih ada di kelas, menata buku dan alat tulis untuk dimasukkan ke tas Polo biru punya dia.

"Kok bedigisan si Bila?" Tanya Ani kalem. Nadanya bikin suhu 60°C jadi turun 27° C.
(Bedigisan=terburu-buru)

"Udah tau kabar dari bu Qisti?"

"Udah,, kenapa?"

"Masih baper aja Bila?" Tanya Ani yang belum juga selesai beresin bukunya.

Aku masuk dan duduk menghadap Ani. Kekhawatiranku seperti terbaca.

"Ya Allah.... peristiwa kamu telat itu udah sebulan lalu loh.. Ntar malem tahsin dan tesnya dari ba'da maghrib sampai ba'da isya kan? Kamu Gak bakalan telat lagi.."

"Bukan itu An.. takut ntar suaraku gak bisa keluar"

"Halah... pas suruh baca kitab itu kan kamu bisa gas pol"

"Itu nashoihul ibad Ani,, makna perkata kan lumayan mudah..  bukan kaya baca qur'an,," entah bagaimana rupaku. Jariku bergerak memilin ujung jilbab yang kupakai.

"Yuk keluar,," ajak Ani keluar kelas dia untuk ke kelas Salwa. Kelas para atom dan partikel berada.

Kami berjalan sambil berbincang. Menyusuri lantai demi lantai, menuruni tangga demi tangga. Memasuki koridor yang kanan kirinya pohon mangga, melewati kantor guru dan UKS, hingga sampai di depan kelas Salwa.

Si cantik yang kami maksud ternyata sudah standby di depan kelas dan tersenyum girang

"Coba tebak,, apa yang bikin aku bahagia??"

"Apaan??" Aku dan Ani serempak bertanya.

"Aku ditunjuk ikut olimpiade Fisika!"

"Wuuaaahhhh kereeen" seru Ani

"Traktir ayam bakar ya,, ntar kudoain Juara" seruku konyol.

"Iya, iya.." Salwa tersenyum.

Pandangannya langsung tertuju pada tanganku yang memilin ujung jilbab tanpa henti.

Kedua sobit tercinta sudah hafal betul tabiatku. Saat Ani khawatir dia akan bolak-balik ke kamar mandi. Saat Salwa khawatir dia cenderung eneg ingin muntah. Dan saat aku khawatir aku cenderung memilin pakaian untuk menghangatkan tanganku yang dingin. Kami hampir tahu semua tabiat masing-masing.

"Dia kenapa An?" Tanya Salwa penuh selidik, sengaja melirik padaku

"Dia ketakutan tahsin dan tes ntar malam"

"Nonsense. Umi aja ngalem bacaan kamu kok"
(Nonsense=tak mungkin)

"Ini lain Salwa... kamu gak ingat sindrom grogi ku yang bisa ngancurin suasana?"

"Yang mana?"

"Kalian lupa? Pas tes baca kitab sama Abah yai dulu pas kelas 2. Bahkan mengartikan من aja salah. "

Dua sobitku itu menahan tawa. Kalau saja tak banyak guru di depan kantor, duo seruntun pasti sudah ngakak keras.

"Mana mungkin kami lupa, juara diniyah kok sampai lupa i'rob." Ujar Salwa.

"Xixixi,, lupa makna pula. Gak kebayang ntar kalau kamu grogi baca qur'an. Bisa lupa ta'awudz" Ani terkekeh kecil. Badannya ikut terguncang seiring dengan kekehan kecil itu.

"Santai aja Bila.. semua bakal teratasi. Aman.. aman... bisa.. bisa.." hibur Salwa tulus.

Dia mengajak kami ke "Ayam Santri". Tempat itu menyediakan menu paket ayam bakar selera kantong santri. 8 ribu bisa dapat ayam bakar+nasi. Jangan jangan bayangkan deh porsinya sebesar apa. Mungkin bagi khalayak ramai, porsi segitu kurang banyak. Tapi, bagi santri seperti kami, porsi segitu sudah pas. Apalagi rasanya enak.

Pilihan Sang Gus [Khatam] ✔Where stories live. Discover now