18. Dito??

17.1K 1.1K 25
                                    

Gus Zainal POV

"Nabila Tisfina" panggilku saat itu. Sekitar dua minggu yang lalu. saat ujian ujian diniyyah.

Ekspresinya ketakutan. Ah, aku tak mampu menggertaknya.

Tangannya gemetar memegang kitab. Sampai bab yang ada di halaman-halaman awal pun tak bisa dia buka. Ah, aku tak mampu memarahinya.

Ucapannya terbata. Akan tetapi, aku tak mampu menyulitkan pertanyaan dengan tarkibnya.

Ekspresinya berubah semalam, sehabis pembagian raport diniyyah. Saat melewati dapur ndalem. Ia bahkan tak menyadari, aku juga ada di dapur bersama Anam dan Sobri. Tingkahnya, senyum dan tertawa gelinya. Betul-betul 180° beda jauh saat berhadapan dengan ujian nashõihul 'ibād.

Dito.. ku dengar nama itu keluar dari mulut sahabatnya. Jadian? Ditembak? Kata itu juga tadi kudengar. Ah, anak itu mulai mengenal cinta.

Tunggu dulu.. bukankah aku pernah melihat Dito saling pandang dengan Nabila di halaman pas dia pulang sekolah. Oh, berarti mereka sudah saling tertarik sejak lama.

Mudah-mudahan jika mereka ditakdirkan berjodoh, semua bakal dilancarkan. Sama-sama santri PPDS. Bisa nganter umi kondangan sekali waktu dan tempat.

Hari ini dia pamitan dengan umi untuk pulang liburan semester. Rona wajahnya memancarkan kebahagiaan. Aku jadi teringat bukunya yang masih ada di kamarku. Ku simpan rapi di dalam lemari.

Apa jadinya kalau buku itu kuberikan sekarang?, Ah.. senyuman itu akan hilang. Mungkin bisa lebih gawat dari itu. Apalagi bila sampul buku itu sengaja ku lepas dan kuberikan padanya. Ah, aku tak sanggup tega melakukannya. Resikonya terlalu berbahaya. Anak itu hatinya rapuh. Tak akan mungkin ku lakukan sekarang. Takut ntar kejadian buruk justru menimpanya. Beruntung buku itu jatuh di tanganku. Bisa aman lah.

"Gus,, sana ke kebun durian umi yang ada di Blado. Sekalian tolong antar Nabila dan teman-temannya sekalian. Lumayan irit, ongkos naik ojeknya bisa buat jajan mereka." Permintaan umi kali ini sedikit sulit. Tapi tetap akan ku lakukan. Permintaan umi adalah sebuah titah mutlak, selagi masih dibenarkan syariat. Toh Nabila bersama teman-temannya. Tidak sendirian. Jadi nanti di mobil tidak hanya ada aku dengan dia saja.

"Baik, umi. Sekalian ambil durian berapa umi?"

"40 boleh. Buat dibagi ke tetangga"

"Nggih, umi." jawabku simpel. Lalu aku pandang ke 6 santri asal Bandar, Blado dan Limpung itu. Mereka ber-6 satu arah. Kebetulan kebun durian umi ada di Blado. Nanti yang Limpung bisa diturunkan di Blado. "Ayo mbak, ikut saya".

Mereka menurut. Bagi mereka, jika umi yang meminta maka sama aja dengan harus dilakukan. Karisma umi sulit dikalahkan dengan penolakan.

Setelah masuk agak berdesakan di Ertiga milikku, mereka berujar terimakasih karena diantar. Nabila ku lihat memilih duduk di jok belakang. Mojok dan menutupkan satu tangan ke mulutnya. Diam tanpa kata dan memandang ke luar kaca jendela di sampingnya. Tangan satunya mendekap erat boneka kelinci.

Tidak ada Salwa atau Ani di sampingnya. Yang ada hanyalah teman dan adik kelas saja di dalam mobil. Anak itu diam tanpa bicara. Seisi mobil juga diam tanpa kata.

"Yang rumahnya Limpung siapa?" Tanyaku mencoba mencairkan suasana.

"Saya dan mbak Nabila, Ustadz."

"Yang Bandar siap-siap ya. Depan masjid kan?"

"Iya, ustadz, kami bertiga turun di masjid." Ungkap yang berada di jok tengah.

"Oke. Nanti yang limpung turun di terminal Blado." Ucapku pada yang ada di jok belakang.

"Nggih, ustadz", jawab mereka.

"Nabila tetap terdiam tanpa kata."

Dia hanya terus memandang keluar. Ah, anak itu.. kemana perginya senyum dan ketawa kecilnya?

Ku setel musik biar tidak sepi di mobil. Satu di antara mereka mengaji al-qur'an. Mungkin anak program tahfidz. Jujur,, kupingku agak gatal mendengar makhorijul hurufnya yang banyak kurang tepat. Keserasian mad satu dengan yang lain juga terdengar sedikit amburadul. Ngajinya hadr, bahkan terlalu cepat. Kalau ku betulkan sekarang bisa-bisa malah mereka malah ketakutan dan minta turun di tengah jalan. Lebih baik dibenarkan saat tahsin dengan umi atau mbak Sely saja.

Tak terasa kami sudah sampai di Bandar. Anak yang ngaji tadi ternyata turun di sana. Telingaku terhenti dari gelitikan.

Suasana dalam Ertiga kembali sunyi. Bahkan sampai terminal Blado pun tetap sunyi. Tak ada yang bicara maupun guyon. Hingga mereka turun dan beralih ke bus mini.

"Hati-hati,, jangan lupa nitip salam buat keluarga di rumah."

"Nggih, ustadz."

Kulihat punggung Nabila menggendong tas sekolah, sementara kedua tangannya mendekap boneka kelinci di depan badan. Ia menaiki bus dengan 2 orang santri yang tadi kuantar.

Aku melanjutkan perjalanan ke kebun durian umi. Kebun umi jauh dari pemukiman penduduk. Dekat sama jalan raya.  Memang umi sudah menitipkan ke salah satu santri abah yang tinggal di desa Manikmulyo. Tetapi rumahnya agak jauh dari kebun umi. Makanya memang harus sering ditengokin. Agak rawan maling kalau lagi musim durian seperti ini.

Aku ke Manikmulyo dulu, sebelum ke kebun. Biar bisa bareng sama pak Amin, santrinya abah dulu.

🔹🔹🔹

Durian sudah beres di Mobil. Sudah hampir maghrib. Tadi aku sekalian mampir ke kebun salak umi untuk bersih-bersih. Letaknya tak jauh dari kebun durian.

Setelah berpisah dengan pak Amin, Aku melajukan Ertigaku dengan cukup kencang. Hingga akhirnya aku kejebak macet di Bandar. Mungkin ada kecelakaan karena ada polisi juga. Mobilku jalan merayap.

Ku buka kaca mobil untuk melihat ke sekeliling. Macet panjang nih. Ku edarkan pandanganku ke seberang jalan.

Dito??

Aku melihat Dito merangkul seseorang tak berjilbab. Pakaian cewek itu seksi dengan kaos ketat dan celana jins ketat. Ku usap mataku lalu ku pastikan lagi pemuda yang ada di warung itu memang Dito.

Ingin sekali aku menepi lalu memastikannya dari jarak dekat. Ah, tak bisa. Dia di warung sisi kanan jalan. Lajur kanan jalan juga macet total. Sekalipun jalan hanya bisa merayap.

Bagaimana ini..

Ku coba berbaik sangka.

Apakah cewek berpakaian seksi itu adiknya? Tapi apa iya adik dirangkul  segitu mesranya? Kepala gadis itu menyender ke bahu Dito. Lalu kulihat tangan cewek seksi itu mengelus-elus pipi dan paha Dito.

Itu beneran Dito apa bukan??
Sayang sekali aku tak bisa memastikannya. Terjebak macet panjang seperti ini, di jalan sempit seperti ini, tak bisa membuatku menepikan mobil. Samping kiriku motor saling berdesakan. Belakangku mobil berderet ke belakang. Kananku apalagi. Semua kendaraan hanya bisa merayap.

Mudah-mudahan penglihatanku salah.

-------------

💚💚💚

Pilihan Sang Gus [Khatam] ✔Where stories live. Discover now