34. mencari nabila

20.1K 1.2K 74
                                    

Gus Zainal POV

Temaram langit mengiringiku kembali ke ndhalem abah-umi setelah selesai jama'ah shalat maghrib.

Melihat semburat merah ditengah langit yang mulai menghitam membuat hatiku sedikit kosong. Apalagi teringat sikap abah yang masih agak dingin padaku. Bicara seperlunya. Itu pun kalau sudah kepepet baru bicara. Membuat hati kosong dan hampa.

Apa abah masih mengalami puber kedua? Rasanya tak mungkin. Kedewasaan berpikir abah sudah setara dengan wibawanya. Khayal bagi beliau yang hati dan lisannya disirami dzikir tiap saat.

Apa aku telah merusak hubungan persahabatan abah dengan yai dasuki? Rasanya tak mungkin. Kemarin saja masih bertamu ke sini kok. Masih bersendagurau dengan abah. Bahkan yai Dasuki juga sempat mengobrol denganku. Beliau tak menyinggungku yang menolak dijodohkan dengan putri beliau.

Gema yasin-an dan kahfi-an semakin terdengar jelas dari asrama belakang ndalem, sementara dari asrama samping ndalem terdengar alunan shalawat dengan nada ala az-zahir. Seharusnya mampu membuat hatiku damai. Tapi ternyata tidak. Apalagi saat berpapasan dengan abah yang hanya diam begitu saja. Melewatiku sambil menguntai tasbih.

"Mpun dahar Bah?" Cegatku berusaha memecah suasana.

"Wis." Jawab beliau singkat padat dan tegas. Tanpa tanya balik. Hanya punggung abah saja yang bisa kutatap saat beliau menjawab pertanyaanku. Beliau berlalu pergi keluar ndalem.

Beruntung umi dan ning Selly yang sudah bersiap ke asrama turut memecah suasana.

"Abah wau mpun dahar Zein.. kamu belum kan? Itu ada gulai kesukaanmu" ucap umi.. 

"Kamu kurusan loh, makan yg banyak.. biar kaya mas Basith, tinggi juga gagah. Nah kamu? Kaya lidi ditancepin."  Ledek ning Selly. Kakak iparku satu ini kadang memang suka ngeledek. Padahal usiaku sudah bukan bocah lagi.

"Wokey,, ssiiiaapp.."

"Oh ya Zein.... Nabila tadi sore izin pulang.. Sore gini jalanan ke Blado masih aman kan? Sampe sekarang belum ngabarin umi.." Tanya umi.

"Biasanya sampai Malam juga masih rame, Mi'.. santai saja.." jawabku enteng, seenteng pikiranku yang serasa kosong. Entah karena sikap abah tadi atau karena kepikiran Nabila. Abaikan saja.. Kusendok gulai buatan umi, lalu kusiramkan di atas nasi pulen yang mengisi piring.

"Pickup pondok dimana Mi?" Tanyaku sebelum umi melangkah lewat pintu dapur untuk ke asrama putri.

"Lagi dibawa Anam ambil kue.."

"Buat?"

"Pengajian ibu-ibu di masjid Bligo"

"Oh.." aku langsung paham. Salut sama umi, walaupun umi sering mimpin pengajian, sering ngasih materi pengajian juga, umi tetap minta dibagiin giliran maceti. Malam ini jatahnya umi untuk menyediakan jajan pengajian.

"Nanti kalau anam sudah pulang, pickupnya kubawa Mi.."

"Ya..." jawaban umi terdengar lirih seiring langkah umi yang menjauh keluar dapur.

Aku duduk melantai. Bahuku menyender tembok sebagian. Baru saja hendak kusendok nasi berlauk gulai tersebut, Anam tergopoh menenteng 2 plastik besar berisi tatanan karton isi kue. Disusul Asror yang membawa 2 plastik besar juga..

"Gak langsung dibawa ke masjid Bligo Nam?"

"Enggak Gus, nanti dibawa pas umi berangkat.."

"Nanti yang ngantar kamu?"

Pilihan Sang Gus [Khatam] ✔Where stories live. Discover now