14. Pelenyap amarah

19K 1.3K 63
                                    

Gus Zainal POV.

"Ayo Kang,, ikut saya." Ucapku begitu sampai di kantor santri putra.

"Nggih, Gus" Ucap Faiq dan ustad Hilmy serempak.

Baik Faiq maupun ustadz Hilmy ternyata masih ada di kantor. Masih saling mengobati. Sebaskom es batu dan dua helai handuk mereka gunakan untuk mengompres. Syukurlah mereka tak lecet dan tak berdarah. Tak perlu obat merah dan plaster. Tak perlu geger lebih lanjut.

Lucu kalau dipikir. Tadi mereka berkelahi adu jotos, baku hantam habis-habisan. Sekarang mereka saling mengobati sambil bercanda. Saling memuji kelihaian tarung masing-masing. Ah,, kedua temanku itu memang ajaib.

Teman?

Ya. Mereka berdua temanku. Faiq anak petani durian yang kaya raya di desa Lolong. Dia sahabatku di MTS Tremas, Pacitan. SMA nya di Jombang, kuliahnya balik ke Pekalongan. Ustadz Hilmy juga temanku. Teman plus senior yang sangat kuhormati sekaligus kagumi. Usianya dua tahun di atasku. Dia sudah lama lulus S2 di IAIN. Tetapi masih betah nyantri di PPDS. Dia bertekad nyari jodoh di sini, baru akan boyong. Entah sekarang sudah nemu apa belum.

"Budi ke ndalem yai Idris?" Tanyaku pada ust. Hilmy.

"Iya gus.", jawabnya.

Santri yang sepantaran atau lebih tua dariku, memanggil dengan sebutan gus. Tanpa embel-embel ustadz atau pak. Jika hanya berdua aku dan ust. Hilmy, aku justru yang memanggil dia dg sebutan gus. Karena dia sebenarnya adalah putra kyai di Cirebon. Pesantrennya tidak besar, tetapi pesantren asuhan orangtuanya tersebut pernah mashur di era sebelum kemerdekaan RI.

Mungkin di PPDS, hanya keluarga ndalem saja yang tahu identitasnya. Aku juga kadang keceplosan memanggil dia dengan sebutan Bib, karena dia juga seorang sayyid. Masih dzurriyyah nabi Muhammad SAW.

"Ke mana gus? Kok pakai mobil?" Tanya ust. Hilmy

"Ta'ziran, ke lapangan.",Ucapku tak sepenuh hati. Sebenarnya, aku hanya ingin orang mulia itu menemaniku.

Aku butuh ke lapangan. Malam ini juga. Kelas diniyyah yang kuampu perlu kuliburkan dulu. Yang penting sudah kukasih tugas.

Maraton di lapangan kuyakin bisa mengurangi tenagaku untuk marah. Tubuhku harus kubuat lelah. Agar pikiran tentang Adiba kalah oleh lelah. Sebab ayat dan hadits kesabaran yang ku dekte dalam hati tak mempan untuk meredam gejolak.

Hati Adiba sudah jelas milik orang lain. Sadar kau Zainal !!!

Hatiku berbicara. Mengiringi langkahku berlari.

Ini kedua kalinya kau tertarik dan mencintai seorang gadis. Yang pertama terhalang restu, kali ini kau ditolak, Zainal. Sungguh kasihan.

Hatiku merintih.

Aku terus berlari, mengelilingi lapangan desa hingga 20x. Lalu berhenti sebentar menengok pada Faiq dan ust Hilmy.

"Kalau sudah cape berhenti kang!" Ucapku pada mereka berdua.

Lapangan desa jauh dari pemukiman. Cukup gelap. Membuat kami semua berlari sambil menyalakan senter di android kami.

"Ta' layani gus," jawab Faiq.

"Perkoro cewek gus?", tanya ust Hilmy.

"Ngrokok wae gus. Ampuh ngilangin stres." Ucap Faiq yang melihatku terdiam.

"Ngawur, malah nylimur rokok" sergah ust. Hilmy. Dia sama sepertiku. Bisa merokok, tetapi tak suka merokok. Kalau Faiq memang dari MTS sudah belajar merokok. Tak heran kalau sekarang merokok sudah menjadi bagian dari hidupnya.

Pilihan Sang Gus [Khatam] ✔Where stories live. Discover now