22. Jejak Dito

16K 1.1K 16
                                    

Gus Zainal POV

"Bagaimana Zain? Dito anak baik?" Tanya Umi setelah melepas Headphone yang sedang kupakai. Pertanyaan umi hanya mampu kuanggukkan.

"Alhamdulillah, kalau memang anak baik" Umi menjawab santai.

Orang yang telah melahirkanku tersebut berdiri bersandar ke dinding kamar.

"2 bulan kamu tak laporan sama umi, berarti beneran baik itu si Dito.." Umi mengambil kesimpulan sendiri.

Sebenarnya, ada yang mengganjal di pikiranku. Berdasarkan info yang kudapat dari bib Hilmy dan beberapa pengurus putra, Dito terkenal suka menganggap adik pada santri putri yang dikenalnya. Tidak hanya satu santri putri, tetapi hampir sepuluh 'adik' ada. Dia terkenal playboy di kalangan santri Mahasiswa.

Kalau kuceritakan hal ini pada umi, aku takut umi akan ikut campur dalam hubungannya dengan Nabila. Kalau tidak kuceritakan, nanti kasihan gadis yang sudah menyita perhatian umi itu. Ntar ujung-ujungnya ke umi lagi.

Ditambah lagi, aku tidak memperoleh bukti pasti tentang bakat playboy-nya Dito. Kalau kuberitahu Nabila, dia tak akan percaya. Orang yang sedang jatuh cinta rata-rata susah dikasih tahu. Apalagi anak itu sudah jelas menyimpan benci padaku. Tulisan di buku diniyyahnya tentangku menunjukkan betapa illfill-nya dia tentang seorang #Zainal_Arifin.

Menurutku, jalan terbaiknya adalah menyembunyikan info yang telah kudapat. Nanti setelah ada bukti nyata, baru akan kusampaikan pada umi. Kalau masih qīla wa 'an, takutnya malah kalau ternyata hanya prediksi maupun fitnah belaka.

"Perhatian umi apa gak berlebihan ke Nabila, Mi?" Aku bertanya.

Umi beralih rebahan di kasurku. Kursi yang kududuki ku arahkan ke umi agar bisa melihat perempuan hebat di PPDS itu. Dari kamarku terdengar mp3 sholawatan yang disetel salah satu santri. Suara mp3 tersebut bersaing dengan suara gaduh dari santri putri yang mungkin lagi belajar malam.

"Umi rasa tidak kok. Dia santri umi, ngajinya yang paling umi sukai dari semua santri putri, terus,, mmm dia yang paling lucu di mata umi..bisa bikin umi tertawa."

"Umi berlebihan. Ampun dijodokke kalih kulo lho Mi'..." Aku harus menegaskan dari sekarang juga bahwa anak itu bukan tipeku.

Untuk urusan nyari istri, aku sedikit condong pada kriteria yang abah tuntut. Memang akan sulit jika aku tak memilih yang hafidzah dan 'alimah. Pendidikan santri putri asuhan kami memang akan sedikit bergantung pada pilihanku kelak.

"Nyantai Zain... Dia itu anak yang enggak minat hafalan. Dia bukan 'alim diniyyah seperti ning ABCDE. Lebih jauh lagi, dia bukan anak kyai. Anak kyai kampung pun bukan. Riwayat nyantrinya saja hanya saat SMA di sini. Jaaauuuuhh dari kriteria abah-mu."

"Terus kenapa kemarin umi pakai ngajak dia ke ndalem bib Bakar?"

"Lho, emang salah??"

"Nggih, mboten Mi.." Tukasku.

"Kalau umi nekat jodohin kamu sama dia, ntar ada perang dunia ke 4 di rumah.. Daripada jodohin dia untukmu, mendingan jodohin dia sama bib Ahmad." Umi menjelaskan.

"Halah, Mi.. Bib Ahmad yo paling golek sing podo syarifah e."

"Itu menurutmu Zain. Umi'nya sendiri yang kemarin bilang kalau putra bungsunya itu lebih seneng sama yang wajah imut manis khas Jawa"

Umi lebih baik tidak ikut campur dengan urusan jodohnya keturunan nabi. Aku tak mau jika nanti PPDS kena sentilan gara-gara hal ini.

"Umi,, si Nabila kan sudah punya Dito. Umi ketularan abah.. pengennya ngenal-ngenalin terus.."

Pilihan Sang Gus [Khatam] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang