33 •

1K 72 23
                                    

VOTE KOMEN, YAW. TQ



"Nam, please, kasih gue waktu." mohon Ari.

"Sepuluh detik."

Namira langsung menjawab karena pikirnya, dia bisa langsung pergi dalam waktu sepuluh detik nanti daripada harus main petak umpet karena trauma.

"What the f—"

"Sembilan, delapan..."



































"Oke! Semuanya cuma setingan!" teriak Ari refleks.

Ekspresi lelahnya bercampur kepanikan dan keputus-asaan. Panik karena takut Namira akan meninggalkannya lagi dan merasa hampir putus asa karena perlakuan Namira padanya yang berubah 180 derajat.

Sementara itu, Namira yang belum sepenuhnya konek dengan apa yang barusan diucapkan Ari cuma memasang ekspresi bingung. Sebenarnya dia malas menghadapi Ari dan ingin cepat-cepat pulang ke apartemen. Tapi karena hati, mulut, dan tubuhnya selalu nggak sinkron, Namira pun hanya bisa pasrah.

"Maksud lo?"

"Semua cuma rencana yang sengaja dibuat sama cewek nggak tau diri itu." jelas Ari.

Kerutan bingung di dahi Namira bertambah, "Aqilah?"

"Iya." Ari mengangguk, "Tentang gue sama dia yang di club itu juga setingan, biar lo benci sama gue." sambungnya.

"Gue..." Namira menjeda sambil menggelengkan kepalanya pelan. "...nggak ngerti."

"Lo bisa tanya ke orangnya langsung."

"Males," Namira menolak mentah-mentah.

Selain malas, Namira juga masih sakit hati walau sedikit bagian dari hatinya itu merasa rindu.

"Please, Nam, percaya sama gue. Sama Nate. Atau sama geng lo? Mereka tau, Nam."

Namira mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tampak masih tidak minat.

"Nam, lo nggak bisa kaya gini terus.."

Namira menoleh ke arah Nathaniel yang baru saja membuka suara. Emosinya meluap diikuti tatapan tajam dan napas yang mulai memburu.

"Terus gue harus gimana?! Lo pikir gue nggak sakit hati?! Lo pikir gampang buat gue bersikap biasa aja selama ini?! Gue juga kesiksa!"

Namira pengin nangis rasanya. Selama ini, dia berusaha menahan rasa sakit itu sendirian. Dia nggak mau orang lain khawatir. Memutuskan buat melarikan diri dari masalah mungkin emang tindakan yang salah, tapi Namira merasa semua usahanya untuk terlihat baik-baik saja seakan sia-sia. 

Namira selalu menekankan satu prinsip dalam hidupnya. Dia adalah cewek yang kuat, cewek yang akan bersikap biasa saja pada masalah yang dihadapinya, menganggap semuanya akan segera berlalu tanpa meninggalkan luka. Namira selalu berusaha kuat, namun sekarang, Namira merasa kecewa pada dirinya sendiri yang tidak bisa melawan luka itu.

"Nam.." lirih Ari.

Tangis Namira pecah. Cewek itu berjongkok dan menelungkupkan kepalanya pada lipatan kedua tangannya di atas lutut. Bukan tangisan alay disertai jeritan histeris, Namira lebih memilih menangis dalam diam. Tidak peduli dengan Ari maupun Nathaniel yang sekarang berada di dekatnya, Namira cuma berharap Chaera atau Yoriko tiba-tiba datang, mengusir dua cowok itu, lalu menuntun Namira pulang.

Namun yang dia rasakan sekarang bukanlah kehadiran Chaera atau Yoriko, tetapi pelukan hangat Ari yang entah kenapa terasa sangat nyaman buat Namira sekarang.

Dealing With The Disk Jockey • ariirham [✔]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu