Bukan Awal yang Buruk

770 29 1
                                    

  Mimpi itu akan tetap semu jika kita tidak bergerak untuk menjadikannya nyata  

-Author- 
***

Di pojok deretan kamar mandi tampak sosok berwajah teduh duduk di sebuah kursi plastik. Tempat itu terlihat ramai, namun hanya Ia yang menyendiri di ujung sana dengan handuk yang melingkar di lehernya. Dalam genggamannya sebuah buku berbahasa arab. Terlihat sesekali ia membukanya sesekali ia memejamkan mata dengan mulut yang berkomat-kamit.

Di lingkungan pesantren sudah menjadi hal yang biasa menjumpai adegan seperti ini, apalagi saat masa-masa ujian, akan lebih sering lagi melihat pemandangan santri yang sedang menyendiri dengan membawa buku kemana-mana, entah di masjid, di asrama, di lapangan, di balik tembok, di belakang kamar, di depan mandi, bahkan di atas pohon pun jadi demi mendapatkan posisi ternyaman untuk belajar maupun menghafal, bahkan dengan posisi yang aneh-aneh, sambil berdiri, sambil makan, sambil mandi, sambil berjalan, sambil piket, dengan bersuara lantang, bersuara kecil, menghafal melalui tulisan, yang sesekali menahan kantuk, menyeduh kopi berkali-kali bahkan ada yang hanya belajar kebut semalam, semua itu demi mempersiapkan ujian.

Karena ujian di pesantren tidak seperti di sekolah-sekolah umum yang ujiannya bisa dengan metode hitung kancing jika tidak tahu jawabannya, sedang disini santri dibiasakan untuk menjawab soal-soal essay yang kalau tidak tahu jawabannya akan kosong dan tentunya tidak akan mendapat nilai, selain itu bukan hanya ujian tulis melainkan ada ujian lisan yang harus dilalui, yang mana santri putra maupun putri akan berhadapan dengan penguji untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pelajaran yang telah dipelajari secara langsung dengan tepat dan benar. Terdengar menyeramkan bukan? tapi dari situ sebenarnya para santri dibiasakan untuk tidak hanya menyerap pelajaran masuk telinga kanan kemudian keluar telinga kiri, namun benar-benar memahami setiap ilmu yang dipelajari dan dipraktekkan di dunia nyata.

Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya, membuat ia setengah kaget.

Ternyata sosok mungil bermata coklat yang telah membuatnya menutup buku berbahasa arab yang sedari tadi digenggamnya. Sepertinya ia akan mengabarkan berita bagus, terlihat sekali wajah baby facenya sumringah demi menemuinya sore ini.

"Oiya bagaimana skenario, sudah jadi?" tanyanya tanpa basa-basi sambil membenarkan posisi duduk.

"emm Sudah belum yaah..."

"Ih, anti nih banyak tingkah, bilang saja udah gitu!" ketusnya mencubit lengan si mata coklat.

"Iya, iya udah Hanna sayang. Aduh sakit nih," ringisnya mengelus-elus tangannya yang dicubit membuat bendungan senyum dari balik bibir lawan bicaranya.

"Lalu, bagaimana dengan pemerannya, sudah anti pilih?" yang ditanya mengangguk.

"Alhamdulillah, Pemeran utamannya siapa?"

"Eumm... Lissy. Menurut kamu, gimana? Abisnya dari nama-nama yang kamu kasih rasanya cuma dia yang sesuai dengan karakter tokoh utama."

"Kalau menurut anti, dia bagus, ana setuju saja. Ana yakin pilihan anti dan Firka itu adalah pilihan yang tepat. Nanti kan dia bisa anti latih. Oya senin kita sudah mulai ujian Amaliyah Tadris nih, pasti sulit untuk adain shooting ya kan?"

"Iya, makanya aku dan Firka udah sempet rundingin, dan aku rasa lebih baik setelah 'amaliyah tadris aja shootingnya, karena aku yakin kita akan sibuk dengan ujian 'amaliyah tadris (1)."

"Oh begitu, yasudah berarti nanti malam kita kumpul dulu untuk konsep selanjutnya, baru kumpul dengan para pemain. Begitu?" Gadis mungil itu menjawab dengan anggukan.

Seseorang keluar dari balik pintu. Terlihat wajahnya begitu menampakkan kesegaran. Di tangan kanannya membawa seperangkat alat mandi sedangkan di tangan kirinya menyandang handuk.

Mimpi di Balik Layar (Complete)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora