Map Merah

190 10 2
                                    

  Hidup tuh gak semulus jalan tol, bahkan jalan tol aja sekarang macet mulu 

- Lala - 

Tangisnya semakin menjadi-jadi. Shofia tak menyangka masalah itu akan mengantarkannya pada perkara besar. Sebuah map merah tergeletak begitu saja di hadapannya, map itu seperti racun yang harus ia telan. Matanya kian membengkak, tubuhnya tak henti-henti berguncang demi menahan isak tangisnya. Mengundang perhatian teman-teman kamarnya. Mereka terlihat iba melihat duka yang terpantul jelas dari balik wajah lembut Shofia. tak pernah sedemikian sedihnya ia menahan gejolak kepedihan. Tak terpikir akhirnya ia harus menerima sangsi yang amat berat. Ini benar-benar fatal. Rasa malu, sedih, sakit, hancur, benci, kesal semua bercampur aduk menggelayuti hatinya. Ya Allah mengapa engkau uji aku seberat inii...

Shofia masih sangat mengingat memori saat ia harus benar-benar kuat menerima tuduhan yang amat menyakitkan. Tanpa pikir panjang sang pendakwah menyerahkan Map Merah itu saat persidangan yang kedua tadi. Satu map yang sangat ditakuti akan keberadaannya. Orang yang mendapatkan map merah siap-siap dicap sebagai orang bersalah, pelanggar berat dan menjadi boomerang tersendiri bagi yang mendapatkannya. Sungguh dengan amat berat hati tangannya sekuat tenaga menggenggam map itu, rasanya seperti mengangkat berkilo-kilo beton. Pada akhirnya ia memang harus menerima resiko ini, menggenggam takdir yang beralih kepadanya yang sebelumnya ia belum pernah sama sekali tersentuh oleh perkara yang layaknya sebuah silet yang siap menguliti kulit-kulitnya. Shofia benar-benar tak percaya ini terjadi pada dirinya. Ini seperti sebuah mimpi.

"Semoga dengan ini kamu bisa menyadari atas apa yang kamu lakukan dan sebagai pembelajaran bagi kamu!" tutur Ustadzah Hilda seperti mengecamnya.

Entah apakah Ustadzah Hilda menyimpan kekesalan pada dirinya, hingga kata-kata itu begitu menohok sembilu di kedalaman hatinya. Sepertinya hukuman ini hanya sepihak diberikan padanya dan begitu cepat, biasanya perkara seperti ini lumayan lama dituntaskan. Pasalnya Shofiapun belum mendengar pihak putra dipanggil untuk diintrogasi mengenai permasalahan seperti ini. Apakah ini salah satu bagian dari jebakan yang dilakukan laki-laki itu untuknya, jika benar adanya, apa salah Shofia padanya? hingga setega ini!

Tampak dua perempuan dengan sumringah datang menghampiri. Sosok teduh memeluk sahabatnya yang masih meringkuk dalam tangis, sedang yang satunya melihat map merah yang tergeletak begitu saja. Kini tangisnya pecah kembali. Air matanya pun berurai di pundak Hanna yang tampak merasakan kepiluan sahabatnya itu. Ia menatapnya iba, baru kemarin ia membuang kesedihannya dengan Lala di tengah hujan, kini ia harus melihat hujan dibalik wajah sahabatnya.

Ia kembali mengelus-elus punggung Shofia. Ia sangat tau bagaimana perasaan Shofia kini. Perasaan yang dulu pernah ia pendam dan rasakan, saat iapun harus menerima map merah dua tahun lalu karena kecerobohannya meminjam handphone temannya untuk menghubungi orang tuanya. Tak diduga itu membawanya terpanggil untuk sidang karena ketahuan oleh ustadzah bagian keamanan dan mendapat map merah juga.

Teman-teman kamar yang melihatnya ikut larut dalam duka. Terlihat mereka begitu menunjukkan rasa kepeduliannya, agar gadis bermata coklat ini bisa sabar menghadapinya.

Hanna melepas pelukannya, mengusap deraian air mata yang tak henti jatuh. Bersama Lala, Ia menuntun Shofia ke kamar mandi. Mengajaknya untuk berwudhu. Kini air matanya terhapus seperti halnya kepiluan itu sedikit terkikis. Tangisnya mulai mereda. Walau belum stabil namun ia mulai merasakan ketenangan dan kesejukkan. Seketika ia terdiam dalam duduk.

"Kenapa cobaan ini bertubi-tubi aku dapatkan, kenapa? Apa salahku?" desisnya.

"Tenangin diri dulu ya. Ana tau ini tidak mudah buat anti untuk menerimanya. Tapi anti tidak boleh putus asa. Ingat bahwa ini bukti kasih sayang Allah. sekarang anti banyak-banyak dzikir dan berdoa aja ya."

Mimpi di Balik Layar (Complete)Where stories live. Discover now