14. Nyi Roro Kidul

3.9K 544 11
                                    

Dalam berbagai hal, Anja sama saja dengan anak SMA seumurannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dalam berbagai hal, Anja sama saja dengan anak SMA seumurannya. Punya waktu selain hari minggu untuk berangkat sekolah dari pagi hingga pukul dua siang. Namun, karena ia aktif di organisasi, ia memang sering pulang lebih lambat dari teman-temannya yang lain.

Sejujurnya, keputusan ia untuk mengikuti Paskibra didukung penuh oleh Bapaknya. Mungkin lebih tepat bukan mendukung, tapi memang Bapak yang menyuruh, makanya mau tidak mau, ibu menurut saja. Dengan catatan, Anja tak lupa tugasnya di rumah.

Awalnya ibu menolak keras, namun jangan sebut Bapak kalau tidak bisa meyakinkan istrinya itu. Anja sih inginnya ikut OSIS, tapi sepertinya OSIS lebih banyak memakan waktu daripada ekskul yang dipilihnya saat ini.

Karena kegiatan lomba Paskibra sudah lama selesai, jadual anak-anak Paskibra jadi tidak terlalu sibuk seperti saat sebelum lomba dilaksanakan. Latihan hanya di hari selasa, kamis, dan sabtu. Kalau hari Minggu, mereka tidak mendapat izin dari kepala sekolah. Sekolah membiarkan muridnya untuk libur, karena sudah terlalu penat belajar selama enam hari.

Hari senin ini, Anja memutuskan untuk pergi ke perpustakaan nasional sepulang sekolah. Dengan Ejak yang selalu berbaik hati mau menemaninya dengan satu syarat, Anja harus mau menemaninya juga untuk makan.

"Nja, nanti pas nganter lo pulang, gue mampir bentar bisa kali?" tanya Ejak seraya mengaduk-aduk jus jambu bijinya.

"Ngapain? Gak usah deh." Anja menyuap bakso ke dalam mulutnya. Ketika ia menghirup sedikit kuah bakso itu, ia merasa bubuk merica di cabai bakso ini lebih kuat daripada cabai rawit itu sendiri.

"Mau ngobrol sama Bapak, konsultasi masalah burung." Tepat setelah Ejak menyelesaikan kalimatnya, Anja langsung terbatuk.

"Minum, Nja." Ejak langsung menyodorkan es teh yang Anja pesan. "Kan gue udah bilang, cabenya jangan banyak-banyak. Tenggorokan lo pedes tuh."

Anja langsung menelan habis minuman itu. Setelah dirasa cukup baikan, ia bertanya, "Burung murai batu?" Ejak mengangguk.

"Burungnya udah dijual Bapak."

"Ya, gue tahu. Kan burungnya ada di gue sekarang."

"Maksud lo?" Ejak mulai menceritakan bagaimana awal mula burung murai batu Bapak Anja bisa ada di Ejak. Jadi, hari minggu lalu, Ejak jalan-jalan ke pasar burung. Baru-baru ini ia diperkenalkan Awe dengan berbagai burung. Mulai dari burung perkutut, burung jalak, burung beo, juga burung murai batu. Melihat Awe yang nampak seru sekali memelihara seekor burung, Ejak jadi tertarik.

Saat di pasar burung hendak membeli burung murai batu, Ejak melihat Bapak Anja sedang tawar menawar dengan penjual burung di sana. Usut punya usut, ternyata Bapak Anja berniat menjual burung itu.

Karena Ejak begitu tertarik dengan burung itu---yang kata Awe bisa menjadi ladang investasinya, ia pun berniat membelinya. "Gue bisa nebak, burung itu bakal banyak menang lomba ntar. Durasi bunyinya hampir rapi. Coba lo liat, saat berkicau dia main ekor. Terus irama, volume bunyinya juga gak diragukan lagi. Lo beli aja, Jak." Itu saran Awe waktu itu.

SHELTER (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang