15. Pemulung

4.1K 579 28
                                    

Hari Senin ini menjadi hari kelima Anja didiamkan oleh ibunya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hari Senin ini menjadi hari kelima Anja didiamkan oleh ibunya. Ibunya memang betah jika tidak ngomong berhari-hari dan selama lima hari itu, Anja menjadi seperti dukun yang harus bisa membaca pikiran ibunya. Bapak sudah cerita kalau ibu sebenarnya kesal pada Bapak yang tidak bekerja karena belum ada tugas menguli. Tapi mengapa setiap ada masalah, Anja yang didiamkan?

Namun, Anja berusaha memaklumi, mungkin Ibu merasa secara emosi sedang lelah. Sehingga, menarik diri dari Anja menjadi lebih baik dibandingkan meluapkan emosi padanya. Mungkin lagi, menurut ibunya, lebih baik dirinya diam daripada ngomel berkepanjangan dan mengeluarkan kata-kata yang tidak semestinya.

Sekali lagi, Anja-berusaha-memaklumi-hal-itu.

Pagi ini setelah membantu ibu memasak, Anja sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Seragam putih-putihnya sudah lengkap dan rapi ia kenakan. Pesanan nasi uduk teman-temannya juga sudah ia masukkan ke dalam kresek hitam. Tinggal berangkat!

"Bapak anter, ya?" Semenjak Bapak tidak menguli, kalimat itu selalu Anja dengar setiap pagi. Bapaknya selalu menawarkan diri untuk mengantarnya, dan berkali-kali juga tawaran bapak, ia tolak.

"Anja naik angkot aja, Pak. Sayang bensin bapak." Alibi Anja menolak. Sebenarnya ia merasa tidak enak pada ibu, alangkah sok ratunya kalau ia diantar bapak pakai motor ke sekolah.

"Bensinnya udah nganggur berhari-hari tuh. Jarang dipakek soalnya. Nanti kalo basi gimana?"

"Anterin Cicik ke sekolah dong, Pak!" Anak berseragam merah putih baru saja keluar dari kamarnya. Rambutnya yang dikuncir asal membuat Anja mengeluarkan keterampilan salonnya. Seraya menyisiri rambut adiknya itu, ia mengumpulkan setiap helaian rambut menjadi satu lalu menguncirnya bagai buntut kuda.

Bapak sudah terkekeh dari tadi. "Nduk, Nduk. Sekolah kamu tuh cuma beda beberapa langkah dari rumah kita. Masa' mau dianterin."

"Gakpapa, Pak. Sekalian nganter Kak Anja, kan. Jarang-jarang lho kita berangkat bareng." Cicik menarik tangan kakak dan bapaknya. "Ayo, Kak! Berangkat!"

Dengan sepeda motor buatan Jepang keluaran tahun 2006 itu, mereka menelusuri jalanan kota. Cicik duduk di depan sementara Anja duduk di belakang. Pertama-tama, Bapak mengantarkan Cicik terlebih dahulu, lalu ke sekolah Anja.

Ketika tiba di depan gerbang sekolah, Bapak menurunkan Anja. Pak Satpam bersama Pak Teguh selaku kesiswaan sudah berdiri di depan pagar. "Anja berangkat, Pak. Assalamu'alaikum. Bapak hati-hati bawa motornya." Anja pamit seraya mencium punggung tangan bapaknya. Buru-buru Anja meninggalkan Bapak, takut kalau bapak memaksanya untuk menerima uang jajan lagi.

Anja pun menyapa Pak Teguh dan Pak Satpam seraya diperiksa. Hari ini, jadualnya razia seragam sekolah. Untuk cewek ber-rok pendek di atas lutut, akan mendapat sanksi. Begitu juga teruntuk cowok dengan celana pensil. Dasi, topi, juga sabuk ikut diperiksa kelengkapannya.

Anja yang lolos dari razia, berjalan santai melewati lapangan sekolah. Di sana sudah ada beberapa murid yang berdiri, sepertinya karena seragam yang tidak lengkap. Anehnya, Anja tidak melihat Ejak di sana. "Nja!" Seseorang menepuk pundak Anja dari belakang.

SHELTER (Completed)Where stories live. Discover now