Bagian 5

21.6K 1.7K 16
                                    

"Aih, kamu memang berbakat, Dek. Kak Sef yakin kamu bakal jadi desainer yang hebat."

Hesa tersenyum. Jemarinya sibuk menari-nari di atas kertas gambar. Di sampingnya, ada Tante si kembar yang menyimak hasil karyanya dengan takjub. Perempuan yang berprofesi sebagai dokter kandungan ini meminta Hesa merancang gaun untuk acara gathering pekan nanti.

"Ini bisa jadi bisnis, Hes. Nanti Kak Sef promosiin ke teman Kak Sef, siapa tahu mereka berminat dengan rancanganmu. Kamu pake instagram nggak?"

Hesa mengangguk. "Ada kok, Kak. Aku bikin instagram khusus buat posting bermacam-macam desain. Beberapa dari kenalanku alhamdulillah sudah ada yang pesan."

"Wah! Kak Sef sampai speechless loh. Ini keren banget. Kamu luwes banget kayak nggak mikir gitu."

Hesa kembali menanggapi dengan senyum tipis. "Ini masih biasa aja, Kak. Autodidak. Mungkin nanti kalau aku udah kuliah dan mendalami ilmunya langsung, bisa lebih baik lagi."

"Oh iya sudah pasti itu. Rencana kamu mau kuliah di mana, Dek?"

"Surabaya."

"He? Kenapa nggak di sini aja? Selain dekat kampusnya pasti lebih baik juga kan? Di UI gitu?"

"Pengin suasana baru. Biar lebih mandiri aja kuliah di luar kota."

"Om kamu setuju?"

Sejenak Hesa menghentikan pergerakan tangannya. "Hem, belum ngomongin lagi sih. Kalo waktu itu nggak setuju. Tapi gampang lah. Om Hakim mudah dirayu kok."

Sefia tampak manggut-manggut, sebelum mencondongkan tubuhnya lebih dekat dengan Hesa dan berbisik lirih, "Kamu tahu nggak, Om kamu udah punya pacar belum?"

Pertanyaan itu langsung menarik atensi Hesa sepenuhnya. "Kok kak Sefia tanya gitu? Mana aku tahu."

Sefia menarik diri dan mengendikkan bahu tak acuh. "Ya siapa tahu ditinggal Tantemu hampir satu tahun udah punya gandengan baru. Om kamu kan ganteng. Pasti banyak perempuan di luar sana yang ngelirik."

Hesa tidak paham ke dia harus tidak setuju dengan asumsi perempuan di sebelahnya ini. "Aku nggak tahu, Kak. Lagian Om Hakim itu cinta banget sama Tante Prisa. Aku yakin nggak mudah buat move on."

"Sibuk, Sef?"

Hesa mengangkat kepalanya saat yang baru saja dibahas tiba-tiba muncul di hadapannya.

"Nggak sih. Ada apa, Mas?" tanya Sefia.

"Ikut aku bentar!"

Pamannya berjalan lebih dulu menuju ruang kerjanya, diikuti oleh adik iparnya. Hesa hanya bisa menatap berlalunya dua insan itu dalam diam. Tindakan ini sedikit menggelitik rasa penasarannya. Apa yang mau dilakukan Om Hakim dengan kak Sefia di ruang kerja?

Hesa bangkit dari Sofa. Entah, setan dari mana yang menuntun kakinya mengikuti mereka. Rasa ingin tahunya yang semakin menjadi membuatnya melakukan suatu hal kurang sopan. Sejak kapan ia jadi tukang nguping begini?

"Aku bikin fitur baru, seperti repost otomatis gitu." Pamannya menunjuk personal komputer di depannya, sementara salah satu tangannya memegang mouse. "Rencananya bakal aku launchingin minggu depan, terus aku ada niat buat jadiin sampel usahamu. Sekalian biar orang kantorku bisa nyicip menunya. Siapa tahu kalo nanti mereka ke Surabaya bisa mampir."

"Wah, ini kehormatan banget buat aku, Mas." Sefia menyambut dengan antusias, matanya menyorot kagum pada layar di depannya. "Tapi ini gratis kan? Mana sanggup aku bayar jasa sampelnya."

"Gratis!" sahut pamannya.

"Beruntungnya aku bisa kenal sama programmernya langsung. Kayak gini bikinnya berapa minggu, Mas?"

"Baru kemarin kok."

"SERIUS? Emang ya kalo udah bakat gimana susahnya akan tetap gampang."

"Masih lebih susah ngeluarin bayi dari perut emaknya daripada ini."

Kemudian mereka tertawa bersama. Tawa yang membuat Hesa tersenyum kecut. Ada perasaan aneh yang menusuk dadanya saat menyaksikan kedekatan mereka. Terlebih saat ingatan Hesa terlempar pada asumsi Salma tempo hari. Hesa menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Sebenarnya ada apa dengan dirinya? Kenapa terasa sesak sekali?
.
.
.
Kenapa om lo nggak mau dateng?

Tak lama Hesa langsung membalas pesan tersebut.

Nggak tau

Om lo malu dateng ke sekolah?
Ke sekolah anaknya gitu juga nggak pernah?

Ya pernah, kan dia bapaknya.
Maksud gue om gue nggak mau jadi wali gue.

Waktu itu pas Tante lo gak bisa ambil rapor keknya om lo deh yang dateng.

Iya

Terus masalahnya dmn? Dipaksa dong, masa gak mau datang. Aneh aja. Apa alesan dese nggak mau jadi wali lo?

Nggak ah

Yaelah. Terus siapa yang jadi wali lo dong?

Yaudah sih gak usah pakai wali, repot amat.
Kan emang gue udah nggak punya orang tua.

Yah yah yah. Lo nggak lagi mewek kan?

Ya tetap aja hidup gue miris banget kan.
Kasih solusi kek gimana supaya Om gue mau dateng.

Itu tadi. Lo tanya kenapa dia gak mau dateng? Apa alasannya?

Mungkin dia marah sama gue

Lah 😞 Lo ngerasa Om lo marah sama lo? Emang lo buat salah apa?

Mungkin, BEGO!

Oh, mungkin.

Gimana cara gue bujuk Om gue biar mau, itu yang susah.

Ya lo yang lebih tau lah. Lo sudah hidup lama sama dia, pastinya lo paham kenapa dia sampe nggak mau jadi wali lo.

Hesa meletakkan ponselnya. Bertukar keluhan pada sahabatnya itu sama sekali tak membantu. Tapi benar kata Salma, ia yang lebih tahu permasalahannya sendiri.

Hesa beranjak dari tempat tidurnya, duduk di pinggiran ranjang. Gadis itu mendesah resah. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Haruskah ia mendatangi Om Hakim dan merayunya?

Hesa memang masih belia, umurnya baru 18 tahun. Tapi ia bukanlah gadis lugu yang tak tahu apa-apa tentang kehidupan manusia dewasa. Lebih tepatnya hubungan antar lawan jenis. Ia sangat sadar tugasnya saat menyandang gelar istri. Dan justru itu yang membuat Hesa terus menghindar dari pamannya. Tentu saja karena ia belum siap.

Menuju walk in closet, Hesa sempat meragu sesaat sebelum mengambil salah satu baju tidur berbahan tipis dan memakainya. Hesa berdiri di depan cermin dengan perasaan campur aduk. Akankah misinya kali ini berhasil? Mungkinkah Om Hakim menginginkan ini? Hesa menelan ludah cekat, namun tak urung membuatnya melangkah pelan ke arah pintu kamar.

MAHESWATI (TAMAT)Where stories live. Discover now