Bagian 12

19.6K 1.6K 60
                                    

"Kakak mau ngomong apa?"

Tadi pagi Hesa mendapat pesan singkat dari Sefia, isinya tentang ajakan berbicara empat mata. Gadis itupun tak keberatan. Kebetulan rumahnya memang sedang sepi, si kembar harus bimbel, sedangkan Om Hakim belum pulang dari kantor. Mereka akhirnya memilih taman belakang sebagai tempat yang pas. Entah apa lagi yang ingin perempuan ini sampaikan padanya, tapi sepertinya sangat penting. Tampak dari tatapan matanya yang serius.

"Hem, begini Hesa. Sebelumnya Kakak mau minta maaf, yang pasti apa yang ingin Kak Sef sampaikan ini tentu untuk kebaikan kamu dan keluarga ini. Kakak sangat menyayangimu. Kamu udah Kakak anggap sebagai adek sendiri. Bagaimana dulu cara Tantemu memperlakukanmu, Kak Sef turut serta mengikutinya. Jadi Kakak merasa punya kewajiban untuk melindungimu setelah Tantemu pergi."

Hesa mengerutkan kening, namun tak urung hatinya mendadak cemas.

Perempuan itu menyimpan kedua tangan Hesa dalam genggamannya. Lembut dan penuh sayang. Sama sekali tak terlihat mengintimidasi. "Seperti yang dikatakan Tantemu selama ini. Kamu anak baik, cantik dan pinter. Kakak pun berpikiran sama karena Kakak mengenalmu sendiri. Tapi Hesa, jangan sampai kelebihanmu ini disalahgunakan. Masa depanmu masih panjang, Dek. Kamu bisa meraihnya dan sukses dengan cita-citamu."

Tubuh Hesa menegang. Antisipasi segera merayapi benaknya.

"Dua hari ini Kakak lihat kamu keluar dari kamar Om Hakim. Malam hari kamu mengunjungi kamarnya dan kembali ke kamarmu sebelum subuh. Di sini Kakak bukan ingin menyalahkanmu, Hesa. Sungguh, kamu masih dibawah umur harus mendapat perlakuan semacam itu dari orang yang menjadi tempat berlindungmu selama ini. Selama ini Kakak sangat mengagumi sosoknya sebagai kakak ipar yang bertanggung jawab dan penuh perhatian pada keluarganya. Betapa kaget dan pilunya hati Kakak mendapati kenyataan itu di depan mata. Kakak berharap semua yang Kakak saksikan tadi pagi adalah salah. Kakak berharap sosok ipar yang selama ini Kakak banggakan nggak seperti yang Kakak saksikan. Tapi manusia bisa berubah. Selama mereka masih bernapas dan punya nafsu segalanya bisa terjadi."

"Kak ...."

"Hesa, Sayang. Tugas perempuan itu harus bisa menjaga harga diri. Kakak tahu Om Hakim adalah satu-satunya orang yang kamu percaya di dunia ini. Kakak tahu dia adalah sandaranmu. Kakak paham, Dek. Tapi, apa yang kalian lakukan itu salah. Dosa Dek, dosa. Kamu mengerti maksud kakak kan?"

Hesa menunduk pelan. "Kakak salah paham ...."

"Kamu nggak sendiri, Dek. Masih ada Kakak di samping kamu. Kakak janji akan melindungimu. Kalau perlu kamu tinggalin rumah ini, dan hidup sama Kakak. Selain itu Kakak juga memikirkan si kembar. Mereka masih sangat kecil untuk memahami tingkah buruk Papanya. Dan Kakak juga nggak akan biarkan keponakan Kakak diasuh sama orang yang salah."

Hesa tidak ingat kapan persisnya seseorang datang dan mendorong tubuhnya hingga tersungkur di atas lantai marmer. Kepala Hesa terjengkang ke atas kala anak-anak surainya ditarik paksa oleh orang itu. Disusul wajah murka orang itu menyemburnya dengan caki maki yang menyakitkan. "Dasar anak nggak tahu diuntung! Benalu! Penggoda!"

"Ah, Nek! Ampun!" ringis Hesa kesakitan.

"Ma, lepas! Jangan kasar begini. Kita sekarang lagi ngomong baik-baik." Sefia yang kaget turut membantu usaha Hesa melepaskan diri.

"Kenapa kamu malah membela benalu ini, Sef?! Jelas-jelas dia salah. Dia sudah ngancurin keluarga Mbakmu! Di mana otakmu masih membela bocah sialan ini." Nek Warsih kembali menjangkau bahu Hesa dan mendorongnya. Membuat tubuh Hesa kembali tersungkur di lantai.

"Apa yang terjadi, Kak?" Tiba-tiba saja si kembar sudah berada diantara mereka. "Apa benar yang dikatakan Nenek? Kakak sudah mengkhianati Mama? Jawab Kak?!"

Dengan air mata yang sudah membanjiri pipi, dan dengan segenap kekuatan yang masih tersisa, Hesa menggeleng pilu. "Nggak, Han. Bukan begitu, kalian salah paham."

"Omong kosong!" teriak Nek Warsih, kembali melayangkan pukulan di kepala Hesa.

"Mama! Berhenti! Ingat, tindakan kasar Mama bisa dikenakan pasal. Tolong jangan bikin suasana jadi runyam. Kita bisa ngomongin secara baik-baik. Dan, Jinan, Jihan ... kalian ... lebih baik ke kamar. Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja. Tante minta tolong sekarang kalian ke kamar." Perempuan itu lalu menggiring sang ponakan meninggalkannya.

"Usir dia, Tante! Jihan nggak sudi lihat muka pengkhianat di rumah ini."

"Dasar nggak tahu diri. Udah dikasih tumpangan malah nikung." Wanita tua itu masih terus berteriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk Hesa yang sudah terkapar nelangsa.

"Mama, tolong ... Mama kendalikan emosi."

Sefia menyongsong tubuh Hesa untuk kembali duduk di ayunan.

"Masmu nggak mungkin tergoda kalo bukan dia yang kegatelan, Sef! Apa yang dilihat Masmu dari bocah kayak gini?" Seolah bukan hanya Hesa yang tersakiti, si tua ikut mengeluarkan air mata. "Duh Gusti, malang nasibmu, Nduk. Malangnya anakku Prisa."

"Ada apa ini?"

Ah, yang Hesa tunggu-tunggu akhirnya datang juga.

MAHESWATI (TAMAT)Where stories live. Discover now