Bagian 8

19.6K 1.5K 44
                                    

"Sekarang Mama lagi on the way ke sini loh, Mas. Kangen cucu katanya."

Hesa mengangkat kepalanya saat kalimat yang diucapkan Sefia pada lelaki di sampingnya. Mereka kini tengah melakukan sarapan pagi bersama.

"Nyampe jam berapa?" tanya lelaki itu di sela-sela aktivitas menyantap nasi goreng. "Kita jemput."

"Kita nggak perlu jemput, Mas. Kata Mama mau naik taksi aja."

"Yes, kebetulan banget Nenek ke sini." Jihan berseru. Dari reaksinya sudah bisa ditebak bocah itu akan memanfaatkan kunjungan neneknya udah mendapatkan sesuatu.

"Han, Han ... nggak dibeliin kamera sama Papa lo mau minta ke Nenek kan?" tebak Jihan seolah tepat sasaran.

Bocah yang tertuduh langsung melengos. "Suka-suka gue! Sirik amat sih lo."

Melihat tingkah kedua bocah itu, yang lain hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dalam diam.

"Hesa, adeknya temanku ada yang ambil DFP di Surabaya lo. Worth it sih, akreditasinya sekarang A."

Hesa menyambut antusias. "Iya, Kak. Aku juga udah dapet info dari BK."

"Hesa mau kuliah di Surabaya lo, Mas. Nanti biar tinggal di apartemenku aja. Punya ponakan cantik bahaya hidup sendiri di luar kota. Ya, meskipun Surabaya nggak sekeras Jakarta sih."

"Aku nggak bolehin dia kuliah di sana, Sef. Perempuan nggak perlu sekolah jauh-jauh. Apalagi kalau di kotanya aja udah ada kampus yang lebih berkembang, ngapain masih nyari di luar?"

"Tuh, kan ... Om Hakim selalu gitu, Kak!" rajuk Hesa.

"Iya. Papa kenapa sih? Kak Hesa kan udah gedhe. Aku pengin kuliah di luar juga nggak dibolehin, Te." Jihan menimpali.

"Sekarang jamannya emansipasi, Mas. Dari omongan kamu kok rasa-rasanya jadi cewek semua serba dibatesin."

"Tanggung jawab yang diambil orang tua itu lebih besar. Gimana aku bisa menjaga mereka kalau jauh dariku? Lagian, itu tadi, di sini aja udah banyak kampus yang berkembang. Kamu akan paham saat nanti udah berkeluarga dan punya anak."

"Papa ...." Jinan yang sedari tadi memilih diam kini sudah berada di dekat ayahnya dan memeluk tubuh kekar tersebut. "Papa jangan khawatir. Kalo kak Hesa dan Jihan lebih milih kuliah di luar biarin aja. Jinan yang akan temeni Papa di rumah. Jinan nggak akan pernah tinggalin papa."

"Utayang, geli gue, Ji. Geli."

Hesa dibuat terharu dengan perlakuan Jinan. Ya, Jinan memang si penurut dengan segala tingkah manisnya. "Oh sweet! Jinan memang anak Papa banget ya? Kalo gitu Hesa juga akan nurut sama Papa deh."
.
.
.
Ada wanita lanjut usia dengan penampilan muslimah tampak terus mengeluarkan air matanya sembari meracau tak jelas. Mengelus bingkai foto pada genggamannya dan sesekali mengecupnya. "Anakku, anakku ...."

"Mama, sudah dong. Lihat, kembar jadi ikutan nangis. Mbak Prisa juga pasti terusik di sana kalau Mama terus-terusan kayak gini." Sefia mengusap pelan bahu yang masih bergetar karena tangis.

"Sefia benar, Ma. Kita harus ikhlas," imbuh Hakim yang sedari tadi turut menenangkan tangis putri kembarnya.

Hati Hesa ikutan terenyuh dengan pemandangan tersebut.

"Antar Mama ketemu Mbakmu, Sef. Mama kangen sama Mbakmu."

"Ayo aku antar. Kita berangkat sekarang, mumpung langitnya cerah. Sorean dikit biasanya hujan." Hakim menepuk kedua bahu si kembar. "Udah nangisnya. Ayo kita ziarah ke makam Mama."

"Om, aku ikut ya?" tanya Hesa.

Hakim mengangguk sambil tersenyum.

"Nggak!" tiba-tiba saja Nenek si kembar berseru. Menatap Hesa dengan sorot galak. "Ini acara keluarga. Orang luar nggak boleh ikut!"

Paras Hesa seketika memerah. Dari dulu Nek Warsih memang tidak terlalu menyukainya. Tidak pernah sekali pun wanita lanjut usia ini menunjukkan sikap hangat padanya. Bahkan terang-terangan mengatainya sebagai benalu di keluarga pamannya

"Maaf, Nek." Hesa menunduk.

"Nenek dari hong-kong?! Aku bukan nenekmu!"

"Ma ...."

"Nek ...."

Semua orang yang ada di dalam ruang tamu serempak menegur. Mereka cukup terpana dengan respon si nenek yang berlebihan.

"Kenapa? Emang dia bukan keluarga kita kok. Lagian, katanya kamu anak orang kaya. Ngeluarin sedikit uang warisan buat beli rumah nggak ada salahnya kan? Masak tinggal sendiri masih nggak berani. Padahal udah gedhe. Nggak tahu diri banget dari dulu numpang di rumah orang."

"Kita berangkat sekarang!"

Jika saja pamannya tidak lebih dulu enyah dari sini, habis sudah Hesa dengan cercaan wanita tua itu. Sekarang, tinggallah Hesa sendiri dengan parasnya yang murung.

"Sabar, Hes ... sabar. Kayak nggak paham gimana Nek Warsih aja. Sabar ya, Hes," gumamnya menghibur diri.
.
.
.
Dunia sudah hampir petang, tapi seseorang yang ditunggui Hesa tak kunjung muncul. Pesan yang ia kirim untuk Om Hakim belum ada jawaban. Layar ponsel menjadi semakin hampa. Kenapa mereka belum juga kembali? Apa yang dilakukan mereka diluar sana? Mungkinkah berziarah sampai membutuhkan waktu hampir satu hari penuh? Atau mereka mampir dulu ke suatu tempat untuk bersenang-senang?

Satu pemberitahuan muncul di layar gawainya. Dan langsung membuat mata Hesa mengerjap. Pesan bergambar lengkap dengan keterangannya itu sukses meremas hatinya. Dua insan dewasa tampak asik bergandengan tangan sambil bermain ice skating.

Syok kan lo?

Pesan Salma muncul kembali di layar gawainya saat Hesa tak kunjung membalas.

Yaelah, diread doang

Woy! Lo masih idup kan, Sa?

Trus kenapa?

Lain di hati lain di jari. Hesa penasaran tapi ia terlalu gengsi untuk menanyakan lebih pada sahabatnya.

Mereka kayak keluarga bahagia gitu gasik? Mama Papa dan dua anak.

B aja

Singkat, padat, jelas. Hesa memilih meletakkan ponselnya dan menenggelamkan wajahnya dibalik bantal. Kesal!

MAHESWATI (TAMAT)Where stories live. Discover now