Bagian 9

18.5K 1.6K 41
                                    

"Kalau numpang itu mbok ya tahu diri dikit. Yang punya rumah keluar seharian. Pulang, capek, bukannya makan malam sudah siap, eh ini masih harus masak dulu!"

"Ma, sudah dong. Hesa kan masih anak-anak. Mana bisa masak." Sembari memasukkan irisan sawi ke dalam penggorengan, bibi dari si kembar ini terus membela Hesa. Biasanya hidangan makan malam tidak pernah telat. Kebetulan saja ARTnya hari ini sedang cuti. Dan Hesa berpikir simpel, ia bisa langsung pesan Gofood jika lapar.

"Segedhe gini kamu bilang anak-anak? Dulu jaman Mama seumuran dia nggak gini-gini amat tuh. Nenekmu itu sudah biasa nyuruh-nyuruh Mama ngramut katering sendiri. Memasak banyak menu sampai acara hajatan. Mbakmu dan kamu, apakah kalian dulu seumuran dia masih kagok begini? Nggak kan?"

"Ya jangan disamain anak sekarang sama jaman dulu dong, Ma. Udah beda keadaan. Dulu hidup susah yang apa-apa harus dilakukan sendiri. Udah, Sayang ... biar Kak Sef yang lanjutin. Kamu tunggu di meja makan sana sama Om dan si kembar," titah perempuan itu pada Hesa.

"ENAK AJA! Sini, kamu yang goreng ikan! Kalau nggak bisa, makanya BELAJAR, biar bisa. Bukan malah menghindar. Gimana besok kamu tinggal sama mertuamu kalau nggak paham masalah dapur?!"

"Ma, tolonglah. Biar aku aja yang lanjutin." Sefia menyambar cepat wadah ikan dari tangan Hesa.

"Kamu kenapa?"

Di pertengahan anak tangga Hesa bertemu dengan Om Hakim. Lelaki itu langsung menyongsong tubuhnya.

"Nek Warsih, Om. Sudah keterlaluan banget sama aku." Hesa mengusap pipinya yang basah sambil terbata-bata menjelaskan yang terjadi padanya. "Dia terus-terusan marahin aku, Om. Dia ngata-ngatain aku ini itu. Ngatain aku nggak bisa masak, nggak bisa apa-apa. Nek Warsih ...."

"Oke, oke ... Om ngerti ... Om ngerti."

Pertahanan Hesa akhirnya runtuh juga di dada pamannya. "Kenapa aku seburuk itu di mata Nek Warsih, Om? Apa salahku sama dia?"

"Ayo ke kamarmu. Cerita di sana, Sayang."

Setelah sampai kamar dan keduanya sama-sama duduk di ranjang, Om Hakim mengusap pelan lelehan air mata yang tersisa di pipi Hesa, sebelum mendaratkan kecupan ringan. "Cantik-cantik kok nangis. Nanti kalau cantiknya hilang gimana?"

"Apa sih, Om!" Hesa melengos. "Nggak lucu!"

Lelaki itu terkekeh. Salah satu tangannya masih betah memainkan pipi Hesa. "Dari dulu kan Nek Warsih emang gitu, Hes. Kayak kamu baru kenal dia aja. Nggak usah diambil hati."

"Tapi nyelekit banget, Om. Dia kan bisa nyuruh baik-baik, nggak harus sambil ngomel. Ngebanding-bandingin aku sama Tante Prisa. Ya apalah aku?! Kata-katanya jahat banget."

"Oke. Kamu mau Om gimana? Ngusir dia?" Lalu, tawa pamannya terdengar aneh, meremehkan.

"Om! Aku lagi nggak becanda ya!" Hesa memukul dada keras di depannya. "Ya bukan diusir juga," imbuhnya.

"Terus?"

Hesa diam.

"Maklumin udah tua, Hes. Anak-anaknya nggak ada yang tinggal bareng. Jadi pas ketemu kamu dia kangen ngomel-ngomel."

"Iiih, Om!" Hesa berdiri sambil menghentakkan kakinya kesal. "Udah sana, Om mending keluar dari kamarku!"

"Lah, kok jadi Om yang diusir?"

Hesa menatap mata pamannya dan mengangkat wajahnya tinggi-tinggi. "Om sadar nggak, hari ini Om udah bikin aku kesel. Om minta aku harus jaga sikap di luar sana. Tapi Om malah melanggarnya."

Lelaki itu mengerutkan kening. "Apa?"

"Pikir aja sendiri!"

"Apa?" Pamannya menahan langkah Hesa saat akan menghindarinya. "Kasih tahu nggak?"

Pinggang Hesa direngkuh sampai gadis itu kehilangan keseimbangan dan terjatuh di pangkuan pamannya. "Om, ih!" Hesa berontak.

"Kasih tahu dulu!"

"Nggak!"

"Kasih tahu nggak?"

"Om barusan ngapain sama Kak Sefia? Pegang-pegangan tangan segala? Om harusnya nggak boleh gitu sama cewek lain kan?"

Sejenak lelaki itu tertegun sebelum gelak tawa menyusul setelahnya. "Kok kamu tahu kalo tadi Om ngajarin dia main ice skating?"

"Tahu! Aku kan punya mata-mata!"

"Tahu dari siapa?" Om Hakim semakin memenjara pinggangnya dari belakang, dan berbisik sangat lirih di tengkuk Hesa. Membuat gadis itu langsung merinding.

"Ra-rahasia!"

Krucuk.

"Eh, suara apa tuh?" Hesa membalikkan badannya.

"Om laper, Hes. Belum keisi apa-apa dari siang."

Hesa memutar bola matanya ke atas. "Salah siapa keluar seharian nggak sekalian beli makan."
.
.
.
"Hesa, Kak Sef sudah dikabari sama penjahit loh. Katanya dress rancangan kamu sudah jadi. Habis ini mau Kakak ambil."

Hesa mengangguk. "Iya, Kak. Semoga langsung cocok ya. Biar nggak perlu bolak-balik ke tukang jahit."

"Rancangan dia?" Seorang wanita yang diharapkan Hesa tidak mengeluarkan suaranya ikut nimbrung. Membuatnya hampir kesedak makanannya sendiri.

"Iya, Ma. Yang pas aku ada acara gathering. Yang waktu itu fotonya aku kirim ke Mama. Nah, itu gaun yang bikin Hesa. Yang Mama puji-puji bagus."

Seharusnya Hesa tidak penasaran dengan ekspresi Nek Warsih. Seharusnya ia tetap fokus dengan sepiring nasinya. Tapi Hesa tetaplah Hesa, matanya sudah terlanjur menangkap kilat sinis itu.

"Ya baguslah, setidaknya dia masih punya kelebihan."

Hesa menghentikan kunyahannya, begitu juga dengan pamannya yang duduk tepat di sampingnya. Dan ia yakin semua yang ada di ruangan ini memandang kaget ke arah si nenek yang masih terus menggerutu seolah tak ingin melewatkan kesempatan untuk mengata-ngatai Hesa.

"Besok acaramu jam berapa, Sef?" tanya wanita itu anak bungsunya.

"Malam sih, Ma," jawab Sefia. Perempuan itu kemudian beralih menatap lelaki di samping Hesa. "Kalo malem bisa nggak, Mas?"

Eh, apa ini maksudnya? Hesa melirik lelaki itu sekilas sebelum kembali menunduk.

"Nah, iya. Ajak Masmu aja. Biar nggak dikira jomlo kalo ada yang nemenin," sambar Nek Warsih sebelum sempat Om Hakim menanggapi pertanyaan adik iparnya.

"Pura-pura punya pasangan gitu ya, Ma? Itu namanya membohongi diri sendiri."

"Ya nggak apa-apa! Dianggap aja pasangan beneran. Papa jomlo Tante jomlo. Kalian cocok." Jihan menimpali dengan mulut terisi penuh.

"Nah, anaknya saja sudah ngasih restu. Kalo kalian mau cari Mama baru nggak usah jauh-jauh, Nduk. Ada tantemu. Belum tentu ada perempuan mbeneh yang telaten ngurus kalian seperti tantemu ini."

MAHESWATI (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang