Bagian 13

20.6K 1.6K 62
                                    

"Mana yang sakit?" Hakim meneliti tubuh gadis di depannya. Jari-jarinya mengusap lembut pinggiran bibir gadis itu yang sedikit kebiruan. "Pake salep ya, Hes?"

"Nggak mau!" Gadis itu malah kembali menubruk dadanya dan menangis tersedu. "Hatiku lebih sakit, Om! Dituduh yang nggak-nggak sama Nek Warsih. Kembar pun juga ikutan ngata-ngatain aku. Sakit hati aku, Om!"

Hakim tak menyangka sikap Ibu Mertuanya akan sebarbar itu, sampai berani bermain tangan. Tindakan yang sudah melewati batas tolerir yang selama ini ia tetapkan. Jika selama ini ia diam, itu hanyalah bentuk baktinya pada orang tua mendiang istrinya. Tapi saat wanita paruh baya itu sudah berani mengusik bahkan bermain kasar pada orang yang ia kasihi, Hakim tidak akan tinggal diam.

"Kalau nggak diobatin nanti makin biru, Sayang."

"Biarin aja. Aku nggak suka salep. Baunya nggak enak."

Lelaki yang menggunakan kemeja biru dongker itu menghembuskan napas pelan, ia pun pasrah dan membiarkan dirinya dipeluk oleh Hesa. Salah satu tangannya yang besar mengusap-usap pelan bahu mungil yang masih tersisa sedikit getaran.

"Om dengar kata-kata Jihan tadi? Dia mau aku pergi dari rumah, Om. Dia marah banget. Dia minta Om milih antara aku sama ...."

"Nggak usah dengerin omongan Jihan." Hakim memotong pelan. "Dia kan masih anak-anak. Anak kecil itu, apa yang didengar maka itu yang akan dipercaya. Apalagi mereka sangat dekat dengan neneknya, jadi wajar kalo lebih memihak neneknya. Dinasehatin sedikit pasti mereka ngerti kok. Mereka bukan anak yang bandel. Hanya saja sekarang kondisinya masih kaget. Jadi tunggu dulu emosinya reda, baru Om akan bicara baik-baik sama mereka. Kamu nggak perlu khawatir."

Si kembar dan Hesa adalah satu kesatuan yang melengkapi hidup Hakim. Tanpa si kembar ia bukanlah seorang ayah, dan bukan pula seorang suami jika tanpa Hesa. Jadi tak sedikitpun terbersit dibenaknya untuk memilih.

"Aku percaya sama Om." Gadis itu mendongak, menatapnya dengan tatapan dalam. "Aku sayang sama Om. Sayang banget."

Hakim tersenyum miring. "Masa sih? Kalau sayang boleh dong gini ...."

Lelaki itu mendaratkan kecupan singkat di bibir sang gadis yang tampak tidak siap dengan serangan mendadak tersebut.

"Nggak dosa, Hes! Dicium suami itu justru ibadah. Jadi harus ikhlas."

Jemari Hesa berusaha menghapus jejak ciumannya. "Om, kasih tahu dulu kek kalau mau cium. Bikin kaget aja deh."

"Pelit!" gumam Hakim pura-pura tersinggung.

Hesa sudah lebih tenang. Paras cantiknya yang mendung berangsur cerah.

"Om mau anter Nek Warsih dulu ke Bandara. Kamu di rumah saja. Istirahat."

Gadis itu memeluknya erat. Tidak membiarkan Hakim beranjak dari sofa. "Nggak boleh. Suruh aja Pak Karli buat ngantar. Aku nggak mau ditinggal!"

"Hesa, dengerin. Orang tua memang nggak selalu benar. Tapi sebagai anak kita tetap harus menghormatinya. Nggak baik dong kalau Om mengabaikan Nek Warsih. Sementara dia tamu dan dia neneknya si Kembar. Terlebih jika Om balik memaki dia karena membelamu. Berarti Om nggak ada bedanya sama Nek Warsih. Selain itu, Om juga nggak mau si kembar ngelihat Papanya yang marah-marah sama neneknya. Kamu paham maksud Om kan, Sayang?"

Hesa masih memenjara lengannya, bahkan semakin kencang. Kepalanya menggeleng. "Nggak mau. Pokoknya Om nggak boleh kemana-mana."

"Sini, kamu mending rebahan terus Om kelonin. Kamu harus istirahat."

Baiklah, Hakim akan menundanya sampai gadis ini tidur.

***

Nek Warsih sudah pulang ke kampung halamannya Surabaya, dan jujur Hesa lumayan lega. Perasaan was was yang sedari sore terus melingkupi benaknya tercerabut sedikit demi sedikit. Sekarang, beralih ke si kembar, yang harus ia pikirkan cara untuk mengambil hati kedua bocah itu.

Saat pikirannya sedang mengembara tak tentu arah, Hesa dikejutkan oleh terkuaknya pintu kamar yang sedikit kasar. Sosok pamannya muncul.

"Sini ponsel kamu!" Ujar lelaki itu begitu sampai tepat di hadapan Hesa, sembari mengulurkan tangan meminta benda pipih di genggamannya.

Hesa mengerjap, masih kaget. "Ponsel?" beonya.

"Ya, ponsel. Sini!" Pamannya seperti orang tidak sabaran.

"Buat apa, Om?"

"Cepetan, sini!" Pamannya benar-benar tidak sabaran. Dan sikapnya pun sedikit beda. Marah kah?

Dengan enggan Hesa menganjurkan benda elektronik miliknya pada lelaki di depannya. Lelaki itu segera menyambar cepat.

"Buat apa, Om?" Lagi-lagi Hesa bertanya penasaran.

Berdetik-detik pamannya fokus menekuri layar ponsel. Hesa menunggu dengan perasaan tak mengerti.

"Kalian baru saja bertemu? Kamu nggak izin?"

Deg!

Hesa baru paham apa yang membuat pamannya bersikap aneh. Dan nyali Hesa seketika menciut. Parasnya tegang. Lidahnya terasa susah berucap.

"Kamu sudah janji nggak akan ketemu dia tanpa izin. Lupa, Hes?" Sentak pamannya dengan nada sedikit tinggi. Tubuh Hesa kaku, tidak punya alasan untuk membela diri.

"Dan, apa yang ada di kamarmu? Nggak mungkin dia bisa memberimu hadiah kalau bukan karena kalian masih sering kontekan."

Kali ini Hesa menggeleng. "Sudah nggak pernah, Om!" Demi Tuhan, sejak putus, Hesa tak lagi menyimpan nomor Edzard. Bahkan saat Edzard berusaha menghubunginya, tak sekalipun Hesa peduli.

"Nggak usah bohong!" Tuduh pamannya.

"Sumpah! Lewat Salma dia ngajakin aku ketemu kemarin." Terang Hesa menggebu-gebu. "Dan aku nggak bilang ke Om Hakim karena aku takut Om nggak ngebolehin. Waktu itu aku mutusin dia dengan cara yang nggak manusiawi. Hubungan kita nggak pernah konflik dan tiba-tiba aku minta putus. Itu nggak adil buat dia."

Hesa berhenti sejenak dari penjelasannya. Ditatapi manik mata pamannya yang juga sedang terpusat padanya. "Aku hanya ingin membesarkan hatinya dengan menemuinya untuk yang terakhir kali, menerima hadiahnya. Selama ini dia sudah sangat baik sama aku. Om, percaya aku kan?"

Pamannya itu masih belum menanggapi. Tatapannya dingin. Hesa mendesah gelisah.

"Maafin aku, Om! Janji deh lain kali kemana-mana bakalan izin dulu. Ya, Om pleaseeeee ...." Ditarik-tarik ujung kemeja sang paman sambil memelas.

"Dengan syarat!" Sambar pamannya.

Hesa melongo. "Apa?"

Ekspresi pamannya terlihat serius, tidak menunjukkan reaksi yang bisa dibantah. "Rupanya kamu sudah dewasa, kamu tahu cara membesarkan hatinya. Gimana kalau sekarang kamu gantian membesarkan hatiku? Kamu pasti tahu, di dalam kamar pasangan suami istri tidak hanya mengobrol saja kan?"

Hesa melotot. Jantungnya seperti akan lepas dari rongganya.

MAHESWATI (TAMAT)Where stories live. Discover now