Bagian 24

15.5K 1.4K 158
                                    

Genggaman erat tangan Hakim menjadi satu-satunya sumber kekuatan bagi istrinya. Menarik napas panjang dan membuangnya pelan-pelan. Di ruang bersalin yang berpenyejuk keringat bercucuran membanjiri pelipis, wajah dan seluruh badan perempuan ini. Semakin bertambah pembukaan maka kontraksinya semakin sering. Istrinya merintih, menggigit bibirnya, lalu menjerit.

Ini merupakan pengalaman pertamanya menyaksikan sendiri secara langsung proses persalinan, betapa Hakim sangat paham Hesa tersiksa, berat perjuangannya dan besar rasa sakitnya. Dulu saat Prisa melahirkan, kekhawatiran itu tak begitu berarti jika dibandingkan sekarang, karena ditempuh dengan jalan operasi.

Jika saja rasa sakit ini bisa digantikan, dengan senang hati Hakim akan melakukannya. Ia tak sampai hati melihat istri yang sangat dikasihi berjuang sendiri. Tangannya tak berhenti mengelus kepala Hesa, merapalkan doa dan selawat. Sesekali Hakim akan memegang handuk kecil untuk menghapus keringatnya, usai membasuh peluh sendiri yang ikut keluar.

"Kuat, Sayang! Kuat! Hesaku kuat!" bisiknya terus menerus.

Jalan lahir terbuka sempurna, Hesa mengejan kuat-kuat setelah mendapat instruksi dari dokter. Mengejan lalu kemudian mengatur napas dan diulang-ulang, hingga bayi suci berjenis kelamin laki-laki lahir ke dunia. Dengan berat 3.5 kilogram. Hakim mengecup kening Hesa lama, sembari ngucapkan terimakasih berkali-kali. Ia memandang bayi itu penuh haru. Wajah, mata, bibir, hidung persis bundanya.

***

"Hes, dia nangis! Mas pikir kamu nggak ada di kamar!"

Hesa seolah tuli, dan tetap fokus dengan buku-buku pelajaran. Mengabaikan Hakim yang tergopoh-gopoh merengkuh bayi mungil dalam boks. Lelaki itu tak habis pikir dengan kelakuan istrinya yang banyak berubah. Dua minggu setelah melahirkan, Hesa mengutarakan keinginannya melanjutkan kuliah. Sempat bersitegang karena tak setuju. Hakim meminta Hesa untuk fokus dulu mengurus Cahya, tapi tak dihiraukan. Akhirnya Hakim pun pasrah dan membiarkan Hesa melakukan apapun yang diinginkan.

"Hesa, Sayang! Dia nggak mau diam! Dia lapar, Hes! Dia haus!" Sekonyong-konyong Hakim mendekati Hesa yang masih tak perduli. Sementara tangisan Cahya semakin nyaring memenuhi isi kamar.

"Minta ke Luluk. Sudah ku suruh dia beliin susu formula." Sahut Hesa tanpa menoleh.

Tentu saja Hakim terkejut. "Susu formula? Memangnya kenapa dengan ASImu?" tanyanya tak mengerti. Selama ini tidak ada kendala menyusui yang mengharuskan istrinya ini harus menggantinya dengan susu formula.

"Aku sibuk! Nggak ada waktu ngurus dia!"

Emosi Hakim naik seketika. "Nggak begitu seorang ibu memperlakukan anaknya, Sayang. Dia menangis, kamu biarkan saja."

Hesa menoleh, menatapnya tajam. "Itu kan anakmu! Selama ini Mas yang mau!"

"Ya Allah, Hes! Apa kamu nggak kasian sama dia? Dia lapar. Ayolah! Apa untungnya buang-buang ASImu?"

"Kalau aku bilang nggak ya nggak!"

Sementara tangisan itu semakin mengiris hati, Hakim memilih berhenti berdebat. Melangkah gegas keluar kamar sembari terus menenangkan bayi Cahya. Menuju ke dapur dan berteriak, "Luluk! Buatin susu sekarang!"

"Papa, adek kenapa?" Rupanya kegaduhan yang berlangsung menarik atensi Jinan mendekat.

"Haus!" Jawab lelaki itu.

"Oh adek haus. Trus Bunda mana? Kok dikasih susu formula, Pa?"

"Bismillah, aaaa, Sayang!" Pelan-pelan Hakim menyuapkan dot ke mulut mungil sang putra.

Cara bayi ini menyedot rakus membuat hati Hakim dihujani rasa bersalah yang bertubi-tubi. Tak pernah menyangka bila seperti ini pada akhirnya. Tak pernah menyangka Hesa akan menolak bayinya. Untungnya Cahya pintar. Dia langsung bisa beradaptasi dengan benda plastik.

MAHESWATI (TAMAT)Where stories live. Discover now