Bagian 15

18.7K 1.5K 26
                                    

"Jihan, Sayang, lihat Kakak punya apa nih buat kamu!"

Hesa meletakkan sesuatu di meja tepat di samping Macbook yang tengah ditekuni oleh Jihan. Ia paham ini tidak akan mudah. Anak ini masih sangat marah padanya. Tatapan permusuhan itu terpancar jelas di kedua netra yang seolah ingin melesatkan sinar laser. Jihan melirik benda itu sekilas, sebelum menyemburkan kalimat yang menohok hati Hesa.

"Dipikir aku bisa disogok dengan barang ginian?!" Cetusnya ketus.

"Nggak ada niat seperti itu. Kakak ikhlas ngasihnya." Sela Hesa kalem.

Mata Jihan semakin menatapnya horor. "Nggak! Kalo Kakak pikir dengan ngasih ini aku bisa nerima Kakak jadi mama tiriku, Kakak salah! Sampai kapanpun aku sama Jinan nggak butuh mama tiri!"

"Lalu apa yang harus Kakak lakuin supaya kamu mau maafin Kakak, Han? Kakak sayang sama kamu. Kakak sedih kalau kamu musuhin Kakak begini."

"Resiko! Siapa suruh jadi cewek kegenitan! Kakak bisa cari cowok seumuran di luar sana masih banyak. Kenapa harus papaku? Ada apa dengan kakak? Aku pikir selama ini kakak menganggap papa udah seperti papa sendiri. Tapi ternyata aku salah nilai kakak!" Gadis itu berteriak histeris, dan Hesa tidak kuasa untuk tidak memegang dadanya. Kaget akan sikap berlebih Jihan.

"Dasar Drama!" Lanjut Jihan memaki.

"Sudah lah, Kak. Ambil lagi barang itu! Dan tolong pergi dari sini. Kita lagi konsen belajar! Jangan ganggu!" Kali ini Jinan yang angkat suara.

Hesa sudah ingin beranjak saat tiba-tiba pamannya datang menarik dirinya untuk duduk kembali. Lelaki itu lantas meminta kedua putrinya untuk menghentikan kegiatannya sejenak.

"Jihan, apa Papa pernah ngajarin kamu bersikap nggak sopan sama yang lebih tua? Ayo, Jihan, sekarang minta maaf sama Kak Hesa."

Gadis itu mendengus. Tampak tidak terima. "Tua apanya sih, Pa? Cuma selisih enam tahun doang."

"Tetap saja Kak Hesa lebih tua darimu, Nak. Ayo, minta maaf."

"Tapi bukan berarti dia cocok gantiin Mama, Papa! Pokoknya aku nggak mau!" Gadis itu menghentakkan kakinya kesal.

"Begitu? Jadi nggak mau minta maaf?"

Saat Ayahnya yang berwibawa sudah mulai bernada tegas, Jihan menciut. "Maaf!" Ucapnya cepat.

"Salim. Cium tangannya!"

Jihan melotot. "Papa apa-apaan sih?!"

"Sudah, Om. Nggak perlu begitu." Hesa berusaha menengahi.

"Ayo! Cium tangannya!" Tapi pamannya tidak menghiraukan.

Anak itu masih mempertahankan tekukan di wajahnya sambil mencium tangan Hesa.

"Jinan, Jihan, duduk sini, Nak!" Hakim menepuk sisi kanan sofa, menyuruh kedua putrinya duduk di sana. Mereka pun menurut.

"Papa sudah jelaskan kepada kalian kemarin kan? Alasan kenapa Papa akhirnya menikahi Kak Hesa?" Ayah dua anak itu menoleh ke kanan, menatap si kembar. "Lalu kenapa tadi Jihan masih bersikap seperti itu sama Kak Hesa? Bukannya kemarin sudah klir? Apa lagi masalahnya?"

Yang ditanya hanya diam, tak berkutik.

"Jangan sampai kejadian nggak sopan pagi ini keulang lagi. Kalian anak Papa yang pinter. Selain Papa, Mama kalian di surga sana pasti juga akan sedih melihat tingkah laku kalian yang seperti tadi."

Kedua bocah itu masih diam. Dibelainya surai panjang itu bergantian. "Dan ya satu lagi. Karena Kak Hesa ini sudah menjadi ibu kalian. Mulai sekarang kalian harus belajar merubah panggilan." Lelaki itu lalu menoleh ke arah Hesa. "Mau dipanggil apa?"

Hesa tampak salah tingkah. "Eh, apa ya? Em, dipanggil Kakak dulu aja nggak apa kok."

"Nggak! Mereka harus belajar mulai dari sekarang! Bunda mungkin?"

Hesa meringis canggung.

Ekspresi si kembar tampak tak setuju. Hesa meremas tangan pamannya. "Nggak apa kok, jangan dipaksain. Mereka juga perlu adaptasi. Kalau sekarang masih mau manggil Kakak, aku nggak masalah."

"Nggak! Nanti jadi kebiasaan. Nggak boleh membiasakan hal yang nggak benar. Ayo, Nak! Coba manggil Bunda. Papa pengin dengar!"

"Om, semua itu butuh proses! Kita sebagai orang tua harus ngertiin mereka juga."

Lelaki itu mengibas tak setuju.

"Kalau ku pikir-pikir aku juga masih terlalu muda untuk dipanggil Bunda."

"Papa, Bunda ... udah belum bicaranya?" Jinan menyela sembari melirik arlogi. "Kita udah waktunya bimbel."

***

"Kamu nggak ada niat ngubah panggilanmu? Aneh, Hes. Takutnya kamu keterusan kalau nggak belajar dari sekarang."

Hesa mengerjap bingung. Mereka masih bergelung nyaman di bawah satu selimut yang menutupi tubuhnya. "Memangnya Om mau aku panggil apa? Aku nggak pernah bayangin bisa memanggil Om dengan sebutan lain."

"Ya nggak usah dibayangin. Kan sekarang peran Om di sisi kamu udah beda." Ujar lelaki itu sambil mengecupi pundak Hesa yang terbuka.

Hesa berpikir sejenak. Alisnya berkerut. "Om mau dipanggil apa?" Akhirnya ia pasrah karena tak menemukan jawaban yang tepat untuk permintaan suaminya.

"Sayang?" saran lelaki itu terkesan menggoda.

"Ih ogah! Aku agak geli dengernya, Om."

"Babe?"

"Dih, apalagi itu!" Hesa cemberut.

"Apa salahnya? Perasaan kamu pernah manggil orang lain pakai sebutan itu." Lelaki itu mengingatkan Hesa tentang panggilan sayangnya pada Edzard.

"Kan beda orang." Tukar Hesa.

"Apa bedanya?" Tanya lelaki itu tak terima.

"Kedengeran nggak enak aja."

"Kalau Abang?"

Hesa menggeleng muram. Om sudah yang paling benar! Kenapa harus dirubah sih?!

"Mas?" Lanjut lelaki itu menyarankan.

"Mas?" Hesa mengulanginya dan berpikir. Lalu tak lama ia mengangguk pasrah. "Yaudah deh, Mas aja."

Sekali lagi Hesa harus keluar dari zona nyamannya.

MAHESWATI (TAMAT)Where stories live. Discover now