Bagian 22

15.5K 1.4K 70
                                    

Crying is like speaking through your eyes when your mouth can't explain how broken your heart is.

Dalam media sosial Twitter Hesa menuliskan kalimat kegalauan hatinya. Tak pelak hal itu menuai banyak komentar balasan dari para pengikut akunnya, termasuk yang paling menohok adalah komentar dari Edzard, lelaki yang dulu pernah mengisi hari-harinya.

Call me, I'll give my love that is limitless for you

Hesa menggigit bibir bawahnya seraya menggumamkan nama laki-laki itu, "Edzard!"

Pemberitahuan kembali muncul, kali ini ada di pesan masuk.

Apakabar Jakarta?

  Good!

Kuliahmu lancar?

Ya. Kamu? Betah di sana?

Mau jawaban yang jujur apa bohong?

Dua-duanya. Kenapa harus bohong kalo bisa jujur?

Jujur nggak betah. Bohongnya pura-puta betah :(

Jawaban macam apa itu?

Ternyata move on itu susah, meskipun udah hampir setahun di sini.

Hesa memilih untuk tak membalas pesan itu. Bahaya bila diteruskan. Meskipun tak dipungkiri terselip haru di hati. Tapi kini Hesa bukannya gadis single yang bebas. Ia tak boleh bermain api bila tak ingin terbakar. Diletakkan ponsel itu segera, dan melanjutkan urusan berganti pakaian yang sempat tertunda.

"Sayang! Kamu lama sekali!" Suara suaminya terdengar dari balik pintu walk in closet yang selalu Hesa kunci saat berganti pakaian. "Ya Allah! Kok dikunci, Hes!"

"Sebentar, Mas! Sabar!" Teriak Hesa sedikit kesal jika urusan berdandannya direcoki.

Hari ini jadwal periksa kandungan. Tak terasa sang janin sudah memasuki usia 7 bulan. Suka tidak suka, sakit tidak sakit, terpaksa tidak terpaksa, semua Hesa telan mentah-mentah. Tersimpan rapi dalam hati. Suaminya tak perlu tahu apa yang ia rasakan dan harapkan.

Hesa mengeja penampilannya di depan cermin. Gaun merah marun melekat di tubuhnya yang sedikit berisi. Dengan kerah sabrina yang rendah menampilkan lehernya yang mulus. Ia biarkan rambut panjangnya tergerai sedikit menutupi dadanya yang semakin menonjol.

Membuka pintu, di sana sudah ada suaminya dengan wajah tertekuk. Tapi seketika senyum lelaki itu terbit dan seperti biasanya dia langsung menerkam. Mengecupi pipi dan leher Hesa.

"Mas! Nanti make up ku ilang!" Hesa berusaha melepaskan diri.

"Kamu harum, dan tambah cantik!" Ujar lelaki itu seraya merengkuh pinggang Hesa.

Harum dan cantik nggak cukup bikin kamu jatuh cinta sama aku kan?

***

Sepulang dari rumah sakit mendadak Hesa ngidam sesuatu. Kentang crispy pakai mayones. Dan di sinilah mereka sekarang, di salah satu food court mal pusat kota.

"Aku pipis dulu ya, Mas." Baru saja mereka sampai di meja tempat memesan makanan, Hesa sudah kembali berdiri.

"Pipis lagi? Mau diantar?" tanya lelaki di depannya.

Hesa menggeleng. "Nggak usah. Aku bisa sendiri"

"Hati-hati, Sayang."

Hesa sudah melenggang pergi meninggalkan suaminya menuju toilet. Sejak hamil, kantong kemihnya seolah penuh, membuatnya tak bisa jauh-jauh dari toilet.

Tadi saat di periksa, janin yang dikandungnya sudah tampak jenis kelamin. Hesa bisa melihat binar kebahagiaan di mata lelaki yang dulu Hesa anggap paman tapi sekarang sudah berganti status sebagai suaminya. Anak yang dikandungnya berjenis kelamin laki-laki. Hesa bingung, biasanya seorang Ibu akan sangat menantikan kelahiran buah hatinya, tapi kenapa justru Hesa tidak pernah merasakan itu?

"Anak Hakim cewek semua, mana boleh Papanya nikah lagi. Cewek itu sensitif!"

Hesa menghentikan langkahnya. Mengamati sepasang suami istri yang menghampiri suaminya. Mereka tampak seperti seorang sahabat yang lama tak berjumpa.

"Adem ayem aja kalian balik nggak niat mampir?" Celetuk suaminya pada dua orang tersebut.

"Baru sampai kemarin, Bro. Niatnya langsung nongol di kantor lo, surprize-surprize gitu!"

"Tunggu!" Yang wanita menuding bergantian dua gelas minuman yang tersaji di atas meja. "Lo nggak sendiri kan?"

Belum juga suaminya menjawab, pria di depannya sudah lebih dulu menyambar pertanyaan si wanita. "Sama klien, Sayang. Secara dia kan CEO Siaporder yang kliennya udah ratusan ribu. So, you know lah."

Si wanita tampak manggut-manggut. "Prisa tetap nggak ada gantinya! Tapi, masak di Jakarta nggak ada Inye-Inye lain yang menarik perhatian lo? Klien lo kek, or sapose gitu."

"Ya emang nggak ada Inye yang lain, Sayang. Elah!"

Mereka seperti tengah bermonolog sendiri.

"Lama hidup di German logat kampung tetep nggak ilang ya?" Tanggap suaminya.

"Justru ini yang bagus. Bisa dikira orang kota nyasar entar gue! Bro!" Sembari mengecek arlogi di pergelangan tangan. "Kita nggak bisa lama-lama. Mau ada acara keluarga di Bandung. Next time disambung lagi gue ke tempat lo!"

"By the way, rencananya gue mau nyekar ke makam Prisa. Lo anterinlah entar!"

Suaminya mengangguk dan mengacungkan jempol sebelum berdiri menghantarkan kepergian kedua teman lama itu.

Hesa pun mendekat selang beberapa menit setelah kepergian mereka. "Kita pulang, Mas!"

"Pulang? Kentang kamu nggak dimakan, Hes?"

Hesa menggeleng dan berjalan lebih dulu. Ah, rasanya pulang ke rumah juga bukan solusi yang baik. Cinta suaminya bukan kepada wanita lain, bukan pula kepada Sefia. Rivalnya tidak ada di dunia ini. Tapi jiwanya seakan tak pernah kemana-mana, menemani di setiap helaan napas suaminya. Dia, Tante Prisa, nyonya rumah besar itu. Penghuni sepenuhnya hati lelaki yang kini tengah menggenggam jemarinya. Kalau sudah seperti ini, rumah tak lagi menjadi tempat yang nyaman untuk Hesa.

MAHESWATI (TAMAT)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu