Bagian 32

13.4K 1.3K 90
                                    

"Pikirkan dulu, nggak usah buru-buru nolak. Bukannya kamu pengin segera bebas?"

Kalimat terakhir suaminya yang masih mengiang-ngiang di kepala Hesa meski satu minggu sudah terlewati. Sungguh ia merutuki persyaratan konyol itu. Dasar penjebak ulung! Kepala Hesa rasanya mau pecah memikirkan banyak kemungkinan akan terjadi lagi.

"Ada yang ganggu pikiranmu?" Usapan di pipinya menyentak lamunan.

"Sedikit." Jawab Hesa.

"Tentang? Ayolah cerita. Bagi bebanmu padaku, Sayang!"

Hesa menggeleng. Tidak mungkin ia menceritakan persyaratan konyol yang diajukan suaminya.

"Apa ini ada hubungannya sama dia?"

Hesa mengangguk. Jika Edzard sudah menyebut dia, subjeknya tak lain dan tak bukan adalah suaminya.

"Katanya dia sudah setuju pisah, lalu apa yang masih bikin kamu galau?"

Dia memintaku tinggal bersamanya selama menunggu proses perceraian. Kalimat yang hanya bisa Hesa ungkapkan di dalam hati.

"Ada yang aneh aja! Dia tiba-tiba setuju!" bualnya.

"Jangan bilang kamu nyesel?" Edzard menyipit.

"Nggak gitu ih! Ya gimana nggak aneh, selain setuju pisah dia juga setuju ngasih Cahya loh, Babe! Jangan-jangan dia ngerencanain sesuatu."

Kali ini Hesa benar-benar ingin menampar mulutnya. Untuk menutupi kebohongan ia harus mengatakan kebohongan yang lain. Hanya demi Edzard tidak salah paham. Huh! Kenapa jadi serumit ini?!

"Jangan khawatir, dia nggak akan berani macam-macam, selama ada aku di sampingmu, Sayang."

Hesa tersenyum tipis. Perkataan Edzard mendadak tak berarti apa-apa. Entahlah! Hesa sendiri juga bingung dengan perasaannya sendiri.

Bunyi bel rumah disusul dengan ketukan pintu oleh sang asisten rumah tangga menyusup rungunya.

"Siapa Mbak?" tanya Hesa.

"Namanya Jinan, Bu." Jawab ART.

Hesa langsung bangkit dari kursi dan melangkah gegas menemui anak sambungnya.

"Siapa sih, Sayang?" tanya Edzard ikut menyamai langkahnya.

"Anakku!" Jawab Hesa."

"Bundaaaa!" Seorang bocah yang sekarang sudah mirip gadis itu langsung berhamburan ke pelukannya.

"Jinan! Sayang!" Hesa menyambut dengan pelukan tak kalah erat, sembari mengusap-usap punggung gadis itu.

"Bunda kapan pulang? Kenapa nggak ke rumah?" tanya Jinan sambil terisak.

Hesa memberikan isyarat pada Edzard untuk menyingkir sebentar, dan lelaki itu pun menurut.

"Duduk, Sayang!" Pintanya.

"Kata Papa, Bunda kuliah di Malaysia. Aku dua kali ke Malaysia tapi Papa nggak ngasih izin ketemu sama Bunda. Papa cuma nyuruh aku lihatin Bunda dari jauh."

Hesa kaget. "Kamu sama Papa ke Malaysia?"

"Iya, Bunda. Kalau Papa malah setiap minggu ke luar negeri. Papa bilang Bunda masih sibuk belajar nggak boleh diganggu. Papa juga bilang Bunda akan pulang setelah lima tahun, tapi kenapa Bunda nggak pulang ke rumah?"

Hesa mengusap pipi Jinan yang basah. "Minggu lalu Bunda ke rumah, tapi kamu lagi liburan ke Bali."

"Iya, tapi kenapa Bunda nggak tidur di rumah? Kata Papa baik-baik saja. Tapi Jinan curiga, Bun!"

Hesa tertegun. Usia si kembar sudah bertambah banyak dan cara pikirnya pun pasti juga akan berkembang.

"Bunda sama Papa nggak baik-baik aja. Bunda sama Papa bertengkar!" Tangis Jinan semakin nyaring.

Hesa bingung mau menjelaskan. Papa mereka saja menutup-nutupi. Haruskah ia melakukan hal yang sama?

"Bunda, maafin Papa, Bun. Kalau memang Papa udah jahat sama Bunda. Pulang ke rumah, Bun! Aku sama Jihan udah sangat rindu, apalagi dek Cahya, dia butuh Bunda. Kami semua butuh Bunda."

Hati Hesa sesak dibuatnya. Tanpa terasa air matanya ikut mengalir.

"Sudah tiga hari ini tipes Papa kambuh."

"Tipes?" pekik Hesa kaget.

Jinan mengangguk.

"Sejak kapan, Sayang?"

"Sejak Bunda pergi."

"Kok bisa?" Hesa benar-benar kaget bukan main mendapati kenyataan tersebut.

"Papa susah dikasih tahu. Aku suruh rawat inap nggak pernah mau. Padahal badannya lemas. Dokter juga nyaranin opname, tapi Papa keukeuh nggak pernah mau. Makanya tipesnya nggak tuntas. Sembuh, nggak lama terus kambuh lagi. Kerjanya juga diforsir terus, sampai begadang."

Ya Tuhan. Kejutan apalagi ini? Lelaki itu selalu mendatanginya setiap minggu, tapi tidak menampakkan diri. Dan kondisinya yang tiba-tiba sakit sejak lima tahun yang lalu. Benar-benar tidak bisa dipercaya. Hesa tak melihat ada perubahan pada sosok gagah itu. Meskipun tampak lebih matang karena usia yang semakin bertambah. Tapi tubuhnya masih tegap dan kekar. Tak seperti orang sakit-sakitan. Bahkan lelaki yang hampir menginjak kepala empat itu justru semakin membuat jantung Hesa jumpalitan.

"Bunda, ayo ikut aku pulang? Kalau lagi sakit gini Papa nggak mau makan. Dek Cahya juga masih kecil. Nggak tahu Papanya sakit, ngajakin main terus." Gadis itu memelas padanya.

Jika sudah begini Hesa tak sanggung menolak.

***

"Bundaaaa!" Saudara kembar Jinan yang bernama Jihan menubruk tubuhnya usai meletakkan baskom di atas meja. "Kangen sama Bunda!"

Dengan sayang Hesa menyambut pelukan itu. "Iya, Sayang. Bunda juga!"

"Han, baskom buat apaan?" tanya Jinan.

"Papa muntah-muntah."

"Hah?" Buru-buru gadis itu berlari memasuki kamar sang Papa. Hesa ikut melangkah lebar mengikutinya. Sementara Jihan kembali mengambil baskom berisi air hangat.

"Papa!"

Tampak ayah tiga anak itu tengah berdiri di depan wastafel memuntahkan semua isi perut. Hesa mendekat, mengurut tengkuknya.

"Baskomnya mana?" Lelaki itu membalikkan badan, dan terlihat kaget saat mendapatinya berada di antara si kembar.

"Ini, Pa!" Jinan menyodorkan waslap yang sudah dibasahi oleh air hangat, digunakan untuk mengusap mulut ayahnya yang sedikit belepotan.

"Kamu ngapain ke sini?" tanya lelaki itu setelah hanya ada mereka berdua yang tersisa di dalam kamar. Sembari melewati Hesa yang masih berdiri canggung, lelaki itu menuju ranjang merebahkan diri.

"Mas sakit." Katanya.

"Aku nggak apa-apa!" Sambar lelaki itu, lantas menarik selimut dan memejamkan mata. "Cahya lagi sama pengasuhnya. Mungkin bermain di teras belakang. Dia nanyain kamu terus. Temuilah sekarang!"

Pergerakan lelaki itu tak luput dari tatapan Hesa. Reaksinya enggan dengan kedatangannya. Hesa menghentikan langkah saat sadar oleh sesuatu. Pandangannya memutar ke ruangan kamar yang luas. Bukan foto berbingkai pigura, tapi di depan ranjang sekitar berjarak lima meter, terdapat gambar dirinya sedang duduk di kursi taman kampus. Gambar yang diambil candid sangat besar berbentuk persegi.

Hesa mendekati sang objek dan merabanya. Oh ternyata ini gorden. Lantas ia mengambil remot sensor yang tertempel di samping, dan menekan tombolnya. Terbukalah gorden itu, menampilkan pemandangan semburat cahaya saat matahari terbenam. Hesa langsung dibuat takjub. Khusus untuk pecinta senja, pasti akan sangat menyukai kamar ini.

Sadar akan dirinya yang sudah banyak tingkah, buru-buru ia menutup benda itu, dan kembali memperlihatkan gambarnya yang besar. Benar-benar sangat besar. Hesa menahan senyum, hatinya bersorak-sorak. Kalau bukan orang yang spesial tak mungkin lelaki itu mau repot-repot memasang gambarnya di sini. Sebesar ini! Niat sekali kan?

Dan Hesa juga tak mendapati gambar siapapun di kamar ini selain gambar dirinya. Apakah ini mimpi? Astaga, kenapa senang sekali rasanya.

-REPOST-
Lengkap di Karyakarsa!😄

MAHESWATI (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang