Bagian 18

17.1K 1.5K 43
                                    

"Ah, akhirnya kenyang juga!" Salma menyandarkan punggung saat pandangannya tertumbuk pada Hesa yang menyantap salad dengan ogah-ogahan. "Itu makanan rezeki, Sa. Gitu amat lo ngadepin rezeki!"

Yang diprotes diam tak menanggapi.

"Sudah berapa kali sih gue bilang, lo nggak usah nethink dulu."

Hesa meletakkan sendok garpunya. Lidahnya hambar dan tenggorokannya susah untuk menelan.

"Kalaupun amit-amit dia ada affair sama adek iparnya, pasti juga udah dari dulu diembat itu dokter cantik. Buktinya nggak kan?"

"Apaan sih lo muji-muji dia segala!" Hanya dengan mendengar Salma memuji perempuan itu sudah langsung membuat Hesa bersungut kesal. "Cantikan juga gue kemana-mana!"

Salma melotot, dan gelak tawa tak bisa dihindari. "Ngakak, Woy! Lo sensi parah kayak emak-emak. Gue jadi makin yakin kali ini lo bener-bener cemburu buta. Hahahaha!"

"Anterin gue balik aja, Mon."

"Lah, jam dua nanti ada kelas kan?" Salma mengintip gawainya.

"Udah nggak mood! Kepala gue rasanya mau pecah!" Hesa bangkit dari tempat duduknya, merengkuh tas ransel. Tapi mendadak pandangannya mengabur, badannya oleng dan seolah dilempari batu tepat di atas kepalanya. Lalu semuanya menjadi gelap.

"Eh, lo kenapa?" Tapi Hesa masih mendengar suara Salma yang panik, memeluk tubuhnya.

Salma mengguncang-guncang badannya sambil berteriak minta tolong pada pengunjung lain.

Beberapa pengunjung kafe terdengar menghampiri, lalu Hesa merasakan tubuhnya digendong. "Pingsan kenapa ini, Mbak?"

"Nggak tahu, Pak. Langsung ke mobil saya saja! Mau saya bawa ke dokter."

***

Tunggang langgang Salma menggiring orang-orang yang membantunya menggendong Hesa menuju tempat parkir mobilnya. Salma membukakan pintu penumpang bagian tengah. Dan setelah Hesa dibaringkan dengan nyaman, ia segera melaju ke rumah sakit terdekat. Tak lupa Salma berkirim pesan pada suami Hesa disertai share location supaya lebih mudah menemukannya.

Hesa terbaring di UGD, masih pingsan dalam penanganan dokter obgyn yang sudah dirujuk oleh dokter jaga.

"Salma! Apa yang terjadi?"

Salma sempat menahan napas saat tiba-tiba lelaki berpakaian resmi menghampirinya dengan ekspresi khawatir.

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Pak. Ini karena hamil muda jadi kondisinya up and down." Dokter spesialis kandungan itu menginformasikan perihal kondisi pasiennya.

"HA-HAMIL?"

"Ya. Bapak siapanya Mbak ini?"

"Saya suaminya."

Dokter paruh baya itu manggut-manggut. "Usianya masih 7 minggu. Kondisinya sehat, kuat. Kata Mbak ini tadi sehat-sehat saja, lalu tiba-tiba pingsan, itu lumrah terjadi pada wanita hamil trimester pertama. Setelah ini istirahat saja yang cukup. Kurangi aktivitas di luar. Saya akan resepkan vitamin dan bisa ditebus di apotek."

"Baik. Terimakasih, Dok!"

Bukannya ikut menyimak, Salma justru asik dengan pikirannya sendiri. Hesa hamil? Dihamili om Hakim? Oh mimpi apa gue semalam. Mata Salma tak berhenti mengeja paras lelaki di sampingnya, mulai dari hidung yang mancung, rahang yang ditumbuhi bulu-bulu halus, rambut klimis. Belum lagi wangi maskulin yang menciptakan kesan jantan. Pundak bidang dan bentuk tubuh yang diyakini Salma kekar meski berbalut jas mahal warna hitam doff. Ah pasti pelukable, beruntungnya Hesa memiliki lelaki ini.

Salma menggelengkan kepalanya cepat, saat menyadari lambaian tangan tertuju ke arahnya.

"Salma!"

"Eh, ya Om?"

"Makasih ya, udah perhatian sama Hesa."

"Sama-sama, Om. Kita sahabatan sudah lama. Sudah seharusnya saya begitu."

"Kalau gitu saya duluan, kamu hati-hati di jalan."

"Om, maaf sebentar!" Salma menghentikan pergerakan lelaki itu saat akan mengangkat tubuh Hesa dari pembaringan.

"Ya?"

"Tadi sebelum ke sini, kita sempat satu kafe. Hesa lihat Om sedang makan siang bersama ...." Salma enggan melanjutkan.

"Oh, adik ipar saya. Sefia."

"Iya, Om, saya tahu kok. Tapi, Hesa malah menangis."

"Nangis?"

"Mungkin nangis karena ...." Duh ni orang ganteng-ganteng nggak peka amat sih, rutuk Salma dalam hati.

"Oh, iya! Gampang, nanti saya jelasin ke dia."

Salma tersenyum sembari menganggukkan kepala.

***

"Hei Sayang, tadi Mas ketemu Sefia. Mas tanya banyak tentang kontrasepsi, dan dia udah jelasin katanya semua kontrasepsi aman dipakai dan tidak mengganggu kesehatan."

Pandangan dingin Hesa memadamkan bara kepercayaan diri Hakim yang kini duduk di sampingnya. Sejak kapan ia menjadi suami yang kesusahan saat menghadapi istri yang tengah merajuk? Gadis ini masih tak mau menatapnya. Raut mukanya merengut, matanya berkaca-kaca. Hakim pun memilih diam. Sibuk mengolah kalimat yang tepat untuk menyampaikan berita besar ini.

"Sayang!" Hakim merengkuh kedua jemari Hesa, dan mengecupnya pelan. "Tadi aku ketemu Sefia ngebahas soal kontrasepsi, kamu jangan salah paham. Katanya semua kontrasepsi baik digunakan."

Gadis itu akhirnya balas menatapnya.

Hakim menghela napas pelan, lidahnya kelu, tenggorokannya cekat. Salah satu tangannya perlahan berpindah di perut Hesa. Mengusapnya lembut. "Ada adek hidup di sini, Sayang."

Kening Hesa mengerut, ikut meraba perutnya.

"Tadi kamu pingsan, dan ternyata si kembar mau punya adek." Hakim merasa beban beratnya hilang usai berterus terang. Tapi ekspresi Hesa cukup membuatnya menahan napas.

"AKU NGGAK MAU HAMIL! AKU MASIH DELAPAN BELAS TAHUN! AKU BELUM PANTES PUNYA ANAK!" teriak Hesa lantang.

Yang terjadi selanjutnya, gadis itu seperti kesetanan. Tubuh Hakim terdorong ke belakang. Hesa memukul dadanya berkali-kali. Melampiaskan amarahnya.

"Kamu emang jahat! Kamu nggak pernah ngertiin aku! Gimana kuliahku?! Aku nggak mau kuliah dengan perut melembung!" Tangan Hesa beralih menampar-nampar perutnya sambil terus menangis histeris. "Kamu pergi! Pergi! Pergi! Aku nggak mau kamu di sini!"

"Sayang! Ya Allah!" Hakim berusaha memeluk gadis itu.

Tangan dan kaki Hesa tidak berhenti bergerak memukul dan menendang sekenanya. Hesa marah. Tampak sangat-sangat marah. Hakim pun berhenti, membiarkan gadis itu tenang. Tak lama setelah itu tubuh Hesa melebur di lantai, menangis tersedu-sedu. Sekonyong-konyong Hakim merengkuhnya.

"Tenanglah, Sayang, tenang. Bayi ini adalah anugerah. Dia suci nggak salah apa-apa. Kalau pun ada yang perlu disalahkan, maka salahkan Mas saja, jangan dia. Mas mohon, Hes."

"Aku takut, Mas! Aku nggak siap. Aku takut melahirkan. Aku takut sakit. Aku takut nggak kuat."

Tubuh Hakim bergetar. Baru sadar, betapa sangat besar kesalahannya ini.

MAHESWATI (TAMAT)Where stories live. Discover now