Bagian 11

18.2K 1.5K 28
                                    

Air mata Hesa merembes keluar di sela-sela aktivitasnya memotong bawang merah menjadi irisan tipis-tipis. Itulah akibatnya bila tak pernah menyatroni dapur, semua serba sulit. Bahkan beberapa kali ia harus merelakan lengan mulusnya terkena cipratan minyak panas, karena terlalu grogi saat memasukkan ikan ke wadah goreng.

"Aku mau bikinin Mas Hakim capcay goreng."

Kalimat yang terlontar dari mulut perempuan yang menjadi mentor memasaknya saat ini sukses mencuri atensi Hesa. Gadis itu menoleh ke samping sesaat sebelum melanjutkan aktivitasnya kembali.

"Mas Hakim tuh paling suka sama capcay goreng," lanjut perempuan itu sedikit berbisik.

Hesa hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Entah kenapa ia malas menanggapi. Mendengar bagaimana bibi dari si kembar terlalu memperhatikan Om Hakim, menimbulkan sedikit goresan kecil di hati Hesa.

"Mbak Prisa pernah ngasih tahu aku, makanan favorit Mas Hakim capcay goreng. Beda dengan capcay pada umumnya, Tante kamu pake bumbu rahasia. Kak Sef sudah ngantongi resepnya." Perempuan itu masih terus mengoceh meski tak ada yang menanggapi.

"Tapi Kak Sef agak kesel sama Om kamu itu, Hes. Mendadak dia batalin janjinya menemani Kak Sef ke acara gathering. Mana alesannya nggak jelas pula."

Hesa masih diam. Telinganya sudah mulai keriting. Sebenarnya kemana arah omongan perempuan ini?

"Dek, kamu serius nggak pernah lihat Om kamu jalan bareng cewek? Hem ... pacaran gitu maksud kakak."

Kali ini Hesa tak bisa terus abai. Ia memutar badan dan menatap perempuan itu lurus-lurus. "Nggak pernah, Kak. Lagian menurut aku nggak sopan kalau aku ikut campur urusan pribadi Om Hakim."

"Iya sih. Tapi kamu jangan bilang-bilang ya, Kak Sef tanya-tanya gini. Cuma kamu yang kakak kasih tau." Perempuan itu sedikit merapat padanya lalu berbisik, "Entah kenapa, setiap berdekatan dengan Mas Hakim, perasaan kakak tuh ... nyamaaan banget."

Tidak salah lagi, dokter muda ini menaruh hati pada Om Hakim. Demi Tuhan kenapa harus Hesa yang dijadikan tempat berbagi curahan hati? Ah, tentu saja Hesa tak bisa menyalahkan perempuan ini. Memang inilah yang selama ini ia harapkan, mengunci rapat-rapat status pernikahannya. Jadi saat ada perempuan yang melirik pamannya, ia tak berhak protes. Huh! Ingin rasanya Hesa merutuki ketololannya.

"Hesa, kemarin teman-teman Kak Sef pada nanyain dress rancanganmu loh. Semua pada bilang bagus dan elegan. Banyak yang pengin pesan. Kakak kasih kontak kamu ya."

"Kasih aja kak. Atau suruh follow akun Instagramku. Aku banyak post model-model terbaru di sana."
.
.
.
"Sudah subuh, Om. Saatnya aku balik ke kamar sebelum yang lain pada bangun." Cukup lama Hesa terjaga, tapi lelaki yang kini tengah memeluknya erat dari belakang tak kunjung merespon.

"Om, badan aku pegel semua. Bisa agak sanaan nggak?"

Lelaki itu sedikit melonggarkan dekapannya. "Tapi jangan keluar dulu," katanya serak.

"Sudah mau subuh, Om. Nek Warsih biasa tahajud di musala." Musala yang dimaksud Hesa itu tempat bersembahyang yang ada di rumahnya. Berada satu lantai dengan kamarnya.

Tanpa sepatah kata, lelaki itu melepaskan Hesa dan membalikkan badan membelakanginya. Hesa menahan tawa saat mengamati pergerakan lelaki itu. Seseorang yang sangat ia hormati dan sayangi, yang dulu pernah ia anggap sebagai pengganti ayahnya tiba-tiba saja bertingkah kekanakan. Hesa marapatkan diri dan memeluknya dari belakang. "Udah gedhe kok ambekan sih," bisiknya lirih mendayu. Jemarinya bergerak lembut menyentuh punggung kukuh lelaki itu.

"Kamu ngapain, Hes?"

"Mijitin Om."

"Nggak perlu! Jauhkan tanganmu!"

Hesa mengernyit. "Kenapa? Bukannya Om suka dipijit."

Pamannya berbalik menghadap Hesa sepenuhnya. Menatapnya dengan tatapan yang tajam. Kenapa dengan Om Hakim? Apakah aku melakukan kesalahan?

"Apa kamu nggak bisa bedain antara memijit dengan meraba?"

Hesa tersentak.

"Kamu harus tanggung jawab!"

Hesa semakin kaget. Ia buru-buru beranjak dari ranjang dan memilih kabur.

MAHESWATI (TAMAT)Where stories live. Discover now