Bagian 19

16.5K 1.4K 58
                                    

Berat Hesa menerima kenyataan ini. Hati nuraninya tak berhenti menyalahkan anak yang tengah ia kandung. Baginya, anak ini penghambat. Benar saja, cita-cita Hesa harus kandas karena makhluk tak berdosa ini. Di tahun pertama kuliah ia memutuskan mengambil cuti. Hesa tak ingin teman-teman di kampus sampai mengetahui kehamilannya.

Lapor, surat cuti udah kelar.

Hesa membaca ulang pesan dari Salma. Batinnya tak berhenti merutuk. Semua ini salah Mas Hakim! Semua ini gara-gara kamu! Lagi-lagi Hesa memukul perutnya.

Mata innocent itu tertuju pada buku-buku berisi materi kuliah yang baru seminggu lalu dibeli. Tumpukan sketchbook yang tertata rapi di atas meja belajar, dan peralatan gambar profesional yang lengkap. Mulai dari beli sendiri, pemberian dari Edzard, dan hadiah saat rancangan busananya menjadi pemenang di acara fashion mewakili sekolah dan kabupaten. Semuanya hancur sudah.

"Mbak Hesa, salad buahnya sudah sampai." Suara Luluk menyembul dari balik pintu ruang belajarnya yang tertutup. Beberapa hari ia memang lebih menyukai makanan ringan ketimbang yang berat-berat. Mungkin karena efek dari hamil muda yang ia jalani.

"Taruh di kulkas aja, Mbak! Aku makan agak siang aj. Sekarang masih kenyang." Balas Hesa sedikit berteriak.

Setelah itu pikiran Hesa kembali melayang tak tentu arah. Melamun. Itulah yang menjadi kebiasaannya akhir-akhir ini.

"Ya, Mas?"

"Assalamualikum?" Lelaki yang menghubunginya di seberang sana meralat saat panggilannya disambut Hesa tanpa salam.

"Waalaikumussalam. Ada apa?" Sambar Hesa tak sabar. Meski sudah lebih menerima, tapi rasa kesal pada lelaki itu masih sedikit terisi di hatinya.

"Memang harus ada apa dulu kalau pengen telepon?"

"Hem."

"Nggak semangat banget. Lagi ngapain, Sayang?"

"Tiduran di kamar."

"Masih mual? Udah makan?"

"Udah nggak. Tadi pesen salad buah. Lidahku rasanya hambar banget."

"Mau Mas mintain obat mual? Biar nafsu makan ke Sefia?"

Hesa menggeleng cepat, meski tindakannya tak dilihat lelaki itu. "Nggak usah! Kenapa sih dokter kandungan banyak selalu dia terus yang Mas ingat?!"

"Kalau ada sodara sendiri yang dokter kenapa musti ke dokter lain, Sayang?"

"Ya ya ya! Bilang aja terus terang pengin banget ketemuan!"

Beda dengan sebelumnya, kali ini yang terdengar malah gelakak nyaring. "Emang boleh?"

"TERSERAH!"

"Nggak, nggak. Becanda. Kasianlah nanti ada yang nangis lagi."

"Hih! Aku matiin!"

Lalu, Hesa melempar ponsel itu asal. Ia marah menjadi perempuan yang sensitif. Entah kenapa susah sekali menahan kesalnya pada Sefia. Padahal adik ipar suaminya itu tidak melakukan apa-apa. Hesa semakin gusar kala menyadari sesuatu, kenapa harus ada cemburu jika di antara dirinya dan suaminya tak saling cinta? Atau jangan-jangan, Hesa sudah jatuh cinta? Ah, mana mungkin!

Hesa jengkel saat lelaki itu mengundang Sefia hanya karena dirinya mengalami flek, yang ternyata itu tak berdampak buruk. Sesuai keterangan Sefia, ia hanya membutuhkan banyak istirahat. Meski sudah berulang kali suaminya menjelaskan tentang makan siang kala itu, Hesa tetap dengan paras tertekuk di depan Sefia. Sungguh sangat kekanak-kanakan.

Seolah paham dengan perubahan sikap Hesa, dokter muda itu pun akhirnya mengurungkan niatnya untuk menginap dan memutuskan pulang ke apartemen diantar Karli. Padahal kunjungannya saat itu sudah sangat larut. Suaminya tak bisa berbuat banyak untuk menahan. Lelaki itu sadar perannya harus nurut pada istrinya yang bocah.

Menyebalkan!

***

Kamar berukuran besar dengan cahaya remang-remang itu sangat sunyi. Hanya terdengar deru napas dari dua insan yang masih terengah di atas ranjang. Jemari Hesa yang tadinya mencengkeram erat di punggung polos suaminya perlahan mengendur, mengelusnya pelan.

"I love you," bisik Hesa lirih.

Tangan Hesa merambat naik, menyisir dan membelai rambut lelaki yang masih bertahan di atasnya, membuat lelaki itu semakin membenamkan wajah di ceruk lehernya.

Beberapa menit kemudian lelaki itu mengangkat kepalanya. Menatap Hesa dengan senyuman yang paling Hesa sukai. Senyuman lembut dan tulus. Wajah lelaki itu nampak sayu dan lelah. Rambutnya mengkilat basah oleh keringat.

Lalu Hesa membelai rahang kokoh itu penuh perasaan. "I love you, Mas!" bisiknya lagi.

Lelaki itu mengangguk dan mengecup keningnya, sebelum merebahkan diri di sisi ranjang yang kosong. Memejamkan mata dengan napas yang masih memburu. "Terimakasih, Sayang!"

Hesa bergerak miring, tak melepas tatapannya barang sejenak. Seketika perasaan tak nyaman muncul. Menimbulkan nyeri dan sedikit prasangka. Bukan ucapan terimakasih yang Hesa harapkan. Bukan. Ia hanya butuh kejelasan. Ia hanya butuh satu ungkapan.

Satu jam berlalu pikiran Hesa masih berkeliaran tak tentu arah, membuatnya tak bisa memejamkan mata meski tenaganya baru saja terkuras oleh aktivitas. Sedangkan lelaki di sampingnya sudah begitu nyenyak dengan dengkuran teratur.

"Nye, bangun! Jangan tinggalin aku! Aku mohon, bangunlah!"

Hesa menoleh kaget. Suaminya mengigau menggumamkan sesuatu yang tak jelas. Diguncang-gundang pundak kekar itu pelan dan tak membuahkan hasil. Hesa lantas mengusap keringat dingin yang keluar dari pelipis suaminya.

"Aku mencintaimu, Nye."

Hesa mengubah posisinya menjadi duduk, berusaha lebih keras lagi membangunkan suaminya. Hampir satu menit berlalu akhirnya mata itu terbuka. Tersentak, dengan napas terengah.

"Mas mimpi buruk?" beo Hesa cemas.

Lelaki itu tak menjawab, hanya menatapnya sedikit lebih lama, sebelum mengangguk dan segera merengkuh Hesa ke dalam pelukannya.

"Mungkin Mas lama nggak mengunjungi, Tante. Besok ke sana gih!" gumam Hesa lirih.

Igauan itu memang sangat lirih. Tapi Hesa masih mendengarnya jelas. Hesa mengenali sosok yang dipanggil-panggil suaminya di dalam mimpi. Kepergian Tante Prisa membuat lelaki ini terguncang. Hampir setiap malam Papa selalu mimpiin Mama, begitu kata si kembar kala itu. Tapi itu dulu, saat awal-awal berduka. Dan sekarang mimpi itu datang kembali. Hesa mendengar dan menyaksikannya sendiri secara langsung.

Dulu mungkin tidak menjadi masalah bagi Hesa, justru ia sangat khawatir bila orang yang menjadi pamannya tak kunjung sembuh dari kedukaan itu. Tapi sekarang, saat statusnya telah berubah, mendengar suaminya menyebut dan memimpikan nama Tante Prisa, kenapa terasa menyayat? Bahkan dalam keadaan tidak sadarkan diri lelaki ini bisa mengutarakan perasaan cintanya.

Hesa menggigit bibirnya kuat-kuat. Menahan isak yang tak terbendung. Kembali ia disentak oleh sesuatu. Hesa bangkit dari peraduannya, menyalakan lampu tidur hingga cahayanya dapat menerangi kamar.

Honeymoon. Paris, 15 June 2005.

Foto itu, foto yang terpajang besar di dinding, di atas kepala ranjang adalah foto suaminya dengan Tante Prisa. Juga pigura berukuran kecil di atas meja, di samping tempat tidur, masih dengan objek yang sama. Buru-buru Hesa menyibak selimut, turun memungut piyamanya yang tadi sempat dilempar asal, lalu dipakainya kilat.

Dengan langkah gontai gadis itu berjalan menuju ruang kerja suaminya. Ia kembali terpekur. Menemukan potret itu lagi. Pandangannya kini memutari ruangan besar yang tak satupun gambarnya terpajang di sana. Hesa semakin tersentak, dadanya berdebur keras, mengingat ruang-ruang lain nihil akan sosoknya. Kenyataan ini membuka kesadaran Hesa, bahwa di rumah ini dirinya bukanlah siapa-siapa.

MAHESWATI (TAMAT)Where stories live. Discover now