Bagian 31

20.6K 1.4K 134
                                    

Setelah memakan waktu untuk perdebatan alot karena Edzard tak mengizinkannya pergi, akhirnya di sinilah Hesa sekarang. Berada satu mobil dengan ayah tiga anak itu dan Cahya dalam pangkuannya. Sedari tadi bocah ini tak mau jauh-jauh darinya. Memeluknya erat-erat seolah takut apabila dia tidak melakukannya, maka Bundanya akan pergi lagi.

"Nggak usah seolah-olah punya keluarga utuh di depan orang. Bilang saja sesuai fakta. Nggak perlu membohongi pablik." Lama membisu, Hesa mulai mengeluarkan suaranya kembali.

Manusia yang sibuk mengemudikan kendaraan itu hanya meliriknya sekilas tanpa repot-repot menanggapi perkataan Hesa.

"Rumah tangga kita sudah lama hancur sejak lima tahun yang lalu. Naif banget kalau Mas masih menganggap semua baik-baik saja."

Pria itu kemudi memasuki kompleks hunian elit yang sudah lima tahun ini menjadi tempat tinggalnya. Masih sama seperti dulu saat mobilnya berhenti, pria itu akan keluar lebih dulu dan membukakan pintu penumpang. Mengambil alih sang putra.

"Biarkan Cahya tidur dulu. Setelah itu kalau kamu ingin pulang, nanti aku antar." Katanya pada Hesa.

Turun dari mobil, pandangan Hesa memutar ke arah halaman depan rumah yang luas. Terdapat taman indah yang nampak sangat terawat tepat di dekat pagar masuk. Di sebelahnya ada lapangan basket mini yang sepertinya khusus untuk bermain anak-anak. Lalu, mata itu beralih pada bangunan rumah yang benar-benar mewah nan megah.

Hesa mengekor di belakang pria itu. Melewati jalan samping rumah yang sudah banyak perabot unik tertempel di tembok. Hanya perasaannya saja atau memang pria ini sengaja membuat rumah perwujudan dirinya. Semua yang menancap di sini menarik perhatiannya.

Lalu Hesa semakin dibuat takjub saat mendapati interior rumah gaya barat kolonial dengan furniture bermerek. Dua lantai dengan langit-langitnya yang tinggi. Sofa berwarna krem dengan pinggiran emas tersemat gagah. Senada dengan aransemen warna yang konsisten, hiasan bermerek di dinding tersusun rapi dari batuan marmer.

Memasuki kamar anak. Kamar yang menurut Hesa sangat luas untuk seusia Cahya. Tak beda dari sebelumnya, Hesa masih terkesima dengan interior unik khas bocah lanang. Wallpaper dan hiasannya sangat pas. Di samping ranjang terdapat foto dirinya di pigura. Hati Hesa langsung dirundung nyeri sekaligus haru. Meskipun ditinggal lima tahun tanpa kabar, tak membuat pria itu menghapus nama Hesa dari memori sang putra.

Pelan-pelan Hesa menuruni ranjang, setelah memastikan Cahya telah tertidur lelap. Dikecupnya kening mungil itu sedikit lebih lama. Menyalurkan kerinduan yang masih membara. Ingin rasanya ia tinggal dan memeluk tubuh kecil ini sepanjang malam, tapi itu tak mungkin terjadi kan?

Hesa menutup kembali pintu itu tanpa suara, dan berbalik. Seketika ia terpaku. Rupanya pria itu menunggu di depan kamar. Mereka bersitatap. Saling mengeja bola mata. Bila di luar sana sepasang kekasih menyalurkan rindu dengan saling berpelukan, berbeda dengan pasangan ini. Tubuh keduanya kaku dan canggung. Seolah ada bentangan jarak yang memisahkan keharmonisannya dulu. Dan tembok raksasa menjulang tinggi di tengah-tengah mereka.

Hilang nyali pria itu untuk merengkuh, memeluk, bahkan mendekat meski hatinya sangat ingin melakukannya. Melihat paras garang yang sedari tadi Hesa suguhkan.

"Ayo kita bicara!" kata pria itu melangkah lebih dulu.

Hesa mengekorinya.

Keduanya lantas sama-sama duduk di sofa ruang tamu. Dengan formasi berhadap-hadapan. Bohong bila Hesa tak gugup mendapati tatapan di depannya. Ia menunduk, mengusir debar yang membuatnya kehilangan fokus. Lantas pelan-pelan ia mengangkat wajah membalas tatapan itu.

"Aku pengin pisah baik-baik. Tolong Mas yang urus perceraian kita. Mas pasti paham posisiku susah ngajuin gugatan."

"Hesa ...."

"Sebentar!" Hesa mengangkat salah satu tangannya. "Aku belum selesai ngomong. Biar hak asuh Cahya jatuh padaku. Jangan khawatir, aku akan mengurusnya dengan baik. Sekarang fokusku untuk Cahya dan masa depannya. Tentunya seorang anak lebih membutuhkan seorang ibu. Biarkan aku menebus keabsenanku selama lima tahun ini. Kalau nanti Cahya ingin bertemu Papanya, aku juga nggak akan ngelarang. Kalian bebas ketemu."

Hesa kembali menunduk. Tak sanggup mengeja ekspresi pria itu yang pias. "Itu aja sih yang pengen aku omongin."

"Oke, aku kabulin permintaanmu, tapi dengan satu syarat. Aku pengin kita jadi keluarga yang sesungguhnya, hidup rukun dan bahagia. Cahya masih membutuhkan kedua orang tuanya. Paling nggak dia pernah ngerasain orang tua lengkap."

Hesa melotot tak percaya. "Mas gila?"

"Anggap saja ini permintaan terakhirku selama menunggu putusan pengadilan."

"Bilang saja Mas mau paksa aku lagi kan? Mau ambil-ambil kesempatan untuk ...." Kepala Hesa menggeleng-geleng tak habis pikir. "Aku nggak mau! Aku nggak mau nyesel untuk yang kedua kalinya!"

MAHESWATI (TAMAT)Where stories live. Discover now