Ch 10 - Whipped

1.2K 162 24
                                    

Saat itu umur Krist masih 9 tahun dan ia harus mendapat kabar jika ayah dan ibunya telah bercerai. Di umurnya itu, ia sudah tahu jika kata bercerai berarti ia tidak akan pernah melihat ayah dan ibunya tinggal bersama satu rumah lagi. Ia merasa kecewa, pasti. Sedih, tentu saja. Ia menyayangi kedua orang yang hampir tidak pernah dilihatnya bertengkar tersebut. Ia tidak tahu apa permasalahannya, yang jelas kedua orang tersebut memilih jalan mereka masing-masing. Hal inipun mengimbas ke dirinya juga, ia harus menghabiskan satu minggu bersama ayahnya dan satu minggu kemudian bersama ibunya. Seperti itu terus, terus berulang hingga Krist merasa kesal. Ia ingin ayah dan ibunya kembali seperti dulu lagi, bisa menghabiskan waktu bersamanya dalam satu waktu.

Hari itu ceritanya Krist sedang kesal dengan kedua orang tuanya, iapun memutuskan untuk lari dari rumah. Membawa tas rangsel yang biasa ia gunakan untuk sekolah, ia sudah mengisinya dengan beberapa baju miliknya dan juga mainan kesayangannya di dalamnya. Dengan wajah marah ia kabur dari rumah ayahnya dan melupakan jika ia tidak tahu menahu tentang wilayah baru di mana tempatnya tinggal saat itu. Maklum, dia hanyalah anak kecil. Kota kecil sekalipun bisa terlihat sangat besar untuknya. Dan karena kenekatannya tersebut, pada akhirnya membuat bocah yang tidak tahu tujuannya pergi itupun tersesat. Ia ngeri melihat beberapa orang yang tidur di pinggir jalan tanpa mengenakan alas. Dengan penampilan kotor, rambut kumal tidak terawat, baju compang-camping, mencari makan di tempat sampah, Krist tidak bisa membayangkan jika dia akan bernasib sama seperti mereka setelah kabur dari rumah. Rasa takutnya semakin menjadi ketika ia sadar jika ia tidak tahu arah jalan pulang ke rumah ayahnya ataupun ibunya. Iapun pasrah, duduk ketakutan dengan mata sembab di sebuah bangku taman.

Tak lama seorang anak perempuan menghampirinya. Dengan seragam sekolah dan rambut panjang hitamnya, anak perempuan yang lebih tua darinya 2 tahun itu terlihat sangat cantik di mata Krist. Dia Gigie, di sinilah awal pertemuan mereka.

"Kau kenapa? Sedang apa di sini?," tanya Gigie. Krist buru-buru mengusap air matanya untuk menutupi kenyataan bahwa dirinya baru saja menangis.

"Kenapa menangis?," ternyata percuma, karena Gigie bisa melihatnya dengan jelas. Krist menggeleng keras, ia menyergahnya cepat-cepat karena malu jika sampai dianggap anak cengeng.

"Aku kabur dari rumah! Ayah dan ibu menyebalkan!," jawab Krist dengan bibir cemberut. Mendengarnya, Gigie tersenyum. Gadis kecil itu mendudukkan dirinya di samping Krist dan mulai memperkenalkan namanya. Awal perkenalan yang imut, Krist tidak sadar jika mulai saat itu juga rasa sukanya melihat wajah Gigie adalah awal ia menyukainya. Suka dalam artian yang sebenarnya.

Krist menceritakan semua alasan yang membuatnya ingin kabur dari rumah dan Gigie mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Meskipun baru mengenalnya, entah kenapa ia langsung nyaman untuk menceritakan masalahnya. Padahal biasanya ia tidak mudah membangun pertemanan baru.

"Kau lihat luka di dahiku ini? Atau... di pelipisku ini? Ini adalah karena aku mencoba melerai ayah dan ibuku yang sedang bertengkar," Gigie menunjukkan luka-luka memar di kepalanya kepada Krist. Dengan mata bulatnya Krist melihatnya dengan raut wajah ngeri.

"Itu pasti sakit kan phi..?," tanya Krist merasa kasihan dengan Gigie. Gadis kecil di depannya itu mengangguk dan kemudian menutupi lukanya lagi dengan poninya.

"Kau tahu Krist, ayah dan ibumu itu pasti sudah tidak saling mencintai lagi makanya mereka memilih berpisah. Ayah dan ibuku juga sudah tidak saling mencintai lagi, makanya mereka terus saja bertengkar. Ibuku terus bertahan karena aku punya banyak saudara. Memangnya kamu mau melihat ayah dan ibumu terus bertengkar?," tutur Gigie.

Krist menggeleng cepat, "Aku tidak mau!," jawabnya lantang.

"Makanya...jika itu memang jalan yang mereka pilih, kau harus menerimanya. Meskipun mereka tidak bersama, mereka tetaplah ayah dan ibumu yang akan terus menyayangimu sampai kapanpun," Krist masih ingat jelas apa yang dikatakan Gigie waktu itu. Umurnya hampir sama dengannya, tapi cara berpikir dan cara bicaranya benar-benar jauh dari seharusnya. Ia sendiri cukup paham dengan apa yang dijelaskan gadis itu sehingga ia sudah tidak punya pikiran untuk kabur lagi.

A MEDICINEWhere stories live. Discover now