Ch 15

1.3K 138 41
                                    

Orang yang paling tidak disukai Nat dan paling tidak ingin dilihatnya adalah Na, orang yang tengah duduk di hadapannya ini. Dengan secangkir kopi di tangannya, pria yang dulu menjadi kekasih Singto itu nampak menyeruputnya dengan penuh kenikmatan. Nat mendecih ingin tertawa, jujur ia sebenarnya tidak ingin berbincang dengan orang ini lagi mengingat bagaimana perlakuan pria ini terhadap Singto dulu. Jika saja ia tahu Na akan menyakiti  Singto, seharusnya dulu ia merusak hubungan mereka saja dan merebut Singto dari sisi Na. Bodoh memang.

Setelah meletakkan kembali cangkir kopinya, Na mengedarkan pandangan matanya ke seluruh penjuru ruangan restoran milik Nat. Sepertinya ia sedang bernostalgia dengan tempat ini. Dulu ia sering makan di sini bersama Singto sepulang sekolah dan tanpa sadar menjadikan tempat ini sebagai tempat favorit saat berjanjian ketemuan.

"Ah.... rasanya sudah lama sekali aku tidak ke sini. Dan.... aku rasa kau awet muda phi. Kita terlihat seperti seumuran saja," pandangan matanya kembali ke Nat. Tangannya memainkan cangkir kopinya tanpa niatan meminumnya lagi.

Nat mendecih, "Benarkah? Atau karena wajahmu saja yang boros?," iapun tersenyum mengejek.

Membuat kedua telinga pria di depannya itu sedikit memanas, "Maklum saja, banyak yang tidak berjalan sesuai harapan. Itu sangat menyiksaku," Na mencoba menstabilkan intonasi suaranya. Menyembunyikan kekesalan yang jelas menggumpal di pangkal tenggorokannya.

"Bagaimana dengan phi sendiri? Bagaimana kabar phi? Apa phi... sudah menikah?," tanya Na sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari saku jaketnya. Menjejalkan sebatang rokok ke mulutnya, lalu menyulutnya. Ia menghisap penuh nikmat dan mengepulkan asapnya dengan tak kalah nikmatnya.

"Aku belum tertarik dengan itu. Aku masih ingin membesarkan tempat ini," jawab Nat santai. Ia menerima tawaran Na untuk mengambil rokoknya dan iapun menyusul Na untuk menikmati tembakau tersebut. Tak butuh waktu lama membuat tempat itu penuh dengan asap rokok, kedua pria itu seperti sedang beradu mengeluarkan asap rokok terbanyak.

"Bagaimana kabar istri dan anakmu?," tanya Nat basa-basi. Hanya karena tak ada topik pembahasan. Na menghisap batang rokoknya untuk yang terakhir sebelum dimatikannya di asbak, pria itupun tersenyum tipis.

"Kami berpisah"

Nat tampak terkejut mendengarnya, "Apa!? Kenapa?," tanyanya yang berubah antusias. Pria di depannya itu justru terkekeh, tidak ada raut kesedihan sama sekali di wajahnya.

"Perjanjian sejak awal," jawab Na enteng.

Nat menggebrak meja, "Kau mempermainkan pernikahan? Sesuatu yang sakral dan suci!?," tanyanya yang berubah emosi. Tanpa sadar Nat berdiri, ekspresinya seperti singa yang hendak menerkam mangsanya.

Na ingin tertawa dibuatnya, "Phi, kenapa kita jadi membahas kehidupanku? Aku ke sini bukan untuk itu," tanggapnya yang masih saja bersikap santai seolah hal yang dikatakannya tadi hanyalah masalah sepele.

Benar juga, Nat menyingkir dari meja. Ia mengambil cangkir kopinya sendiri dan menyeruputnya  untuk menetralkan kembali emosinya yang tiba-tiba meledak-ledak.

Masih dengan posisi berdiri, tanpa diketahui Nat kedua mata Na tak lepas darinya. Tak melewatkan senyuman penuh arti yang sejak tadi disunggingkan oleh bibir tipis Na. Hingga sebuah panggilanpun memaksa Nat untuk melihat wajah Na kembali.

Na diam beberapa saat, menyeruput habis kopinya sebelum melihat ke arah Nat dengan raut wajah serius.

"Bantu aku mendapatkan Sing lagi"

BUAGH!

Sebuah bogem mentah mendarat di sisi kiri wajah Na. Tubuh pria itu terjungkal, bersamaan dengan kursi yang didudukinya hingga menimbulkan bunyi keras.

A MEDICINEWhere stories live. Discover now