Ch 12 - Misunderstand

1.3K 172 24
                                    

Ternyata Singto memang tidak pernah cocok dengan hingar bingarnya dunia malam, mungkin itu pula yang membuatnya tidak nyaman berada di tempat macam night club seperti ini. Sejak tadi ia hanya duduk di lounge area sembari menikmati minuman yang dipesankan Nat untuknya tanpa ada niatan sama sekali untuk turun ke dance floor. Sejak tadi Nat juga terus menemaninya, bahkan pria itu tidak pernah meninggalkannya sendirian.

"Phi, phi serius tidak turun ke sana?," tunjuk Singto ke dance floor. Ia harus berbicara di dekat telinga Nat agar suaranya bisa didengar. Begitu pula dengan Nat yang melakukan hal yang sama, membuat mereka duduk saling berdempetan. Singto masih sibuk menenggak minuman beralkohol yang berjajar di meja depannya, sedangkan Nat bersandar menyamankan dirinya di sebelahnya. Nat memang tidak berniat mabuk malam ini, ia harus tetap sadar untuk bisa membawa Singto pulang nantinya.

"Kau tahu phi, aku jadi sangat ragu dengan perasaan Krist kepadaku. Dia bahkan tidak bercerita jika ia kembali berhubungan dengan mantannya," curhat Singto. Nat hanya diam mendengarkan curhatannya, tangannya yang berada di sandaran sofa sesekali mengelus tengkuk dan punggung Singto pelan bermaksud memberi kenyamanan.

"Kenapa kau selalu memilih jalan cinta yang sulit? Sedangkan ada seseorang yang jauh peduli denganmu dan jauh lebih bisa membahagiakanmu selama ini?," Singto menaikkan alisnya. Ia tidak dengar apa yang dikatakan Nat.

"Apa!? Phi bicara apa!? Aku tidak dengar phi!!," tanya Singto dengan berteriak, mencoba menyamakan suara bising yang dihasilkan dari musik yang dimainkan dj. Nat mendesah, dengan senyum kecut ia mengacak-acak rambut Singto gemas. Nat ikut meminum minuman yang dituangkan Singto, namun ia kembali merasakan Singto mendekatkan bibirnya ke arahnya.

"Phi, aku rasa aku tidak cocok dengan tempat ini! Terlalu berisik! Aku ingin kita minum di tempat phi saja agar aku bisa curhat!," pinta Singto dengan tampang melas. Nat yang melihatnya hanya bisa menghela nafasnya, ia mengangguk pelan sebagai jawaban. Tentu karena tidak tega melihat Singto yang jelas merasa tidak nyaman.

"Tapi aku ingin ke toilet dulu phi!," pinta Singto lagi ketika mereka sudah bersiap untuk pulang.

"Pegang tanganku, biar kita tidak terpisah," suruh Nat mengulurkan tangannya. Singto tersenyum, menyambut tangan itu untuk digenggamnya. Mereka berjalan menembus orang-orang yang tengah berjoget di dance floor, menuju ke sebuah lorong yang menjadi jalan satu-satunya ke toilet. Melewati pintu-pintu yang bahkan Singto tidak tahu apa fungsi ruangan tersebut.

Begitu di toilet, Singto langsung masuk ke salah satu bilik dengan Nat yang menunggunya di dekat washtafel. Setelah keluar dari bilik tersebut ia langsung menuju washtafel untuk mencuci tangannya dan mencuci wajahnya. Dari cermin besar di depannya tersebut ia bisa melihat Nat yang tengah bersandar di dinding dengan tangan terlipat di depan dada terus mengamatinya.

"Kau terlihat sangat berbeda ketika tidak memakai kacamata, apa kau tidak tertarik memakai softlens?," puji Nat. Singto tertawa, kembali memakai kacamata yang sempat ia lepaskan ia membalikkan tubuhnya untuk melihat langsung ke arah Nat.

"Aku memang selalu tampan phi!," kekeh Singto pede.

Nat ikut terkekeh, "Ya, kau selalu tampan. Dan... manis...," puji Nat lagi.

Singto yang mendengarnya kembali terkekeh, "Ayo kita pulang phi," niatnya ia ingin pergi tapi ternyata Nat lebih dulu mencegahnya dengan menarik tangannya. Pria berkacamata itu melihat gelagat Nat aneh, ia hanya menaikkan alisnya untuk mengganti tanya 'apa?'

"Aku bisa membahagiakanmu, jadi tolong berhentilah melakukan hal konyol," ucap Nat. Mendengarnya Singto tampak terkejut, "Aku tidak mau kau terluka lagi, aku selalu merasa seperti orang yang bodoh setiap kali membiarkanmu menjalani sesuatu yang akan membuatmu terluka," lanjut Nat yang semakin membuat Singto menatapnya tak percaya.

A MEDICINEWhere stories live. Discover now