Mendarah

5.7K 1K 36
                                    

Di setiap denyut nadimu, kerja sarafmu, ataupun helaan nafasmu, aku akan selalu berada di sana. Karena aku mendarah untukmu.

_________

Pukul sepuluh malam lewat, saat aku merasakan nyeri di tengkuk leherku  karena seharian ini aku sudah kelewat lelah. Aku baru saja pulang dari rumah sakit setelah menjenguk ibu. Kondisinya masih sama seperti biasa, belum ada perkembangan. Ibu masih dililit dengan banyak alat-alat medis aneh di sekitar badannya. Setiap aku melihatnya tertidur dengan alat-alat itu, aku bisa merasakan hatiku perlahan teriris. Itu mengerikan.

Aku kembali pulang ke rumah di saat aku terlalu asyik melamun dengan pikiran kosongku. Saking tak sadarnya, kini aku sudah sampai di depan pagar rumah.

"Awsss!!" aku menepuk leherku yang terasa begitu nyeri itu. Aku juga terlalu banyak tidur di atas meja dan kondisi seperti itu memang tidak bagus untuk tulang.

Saat mataku terpejam karena rasa nyerinya menjalar hebat ke urat-urat punggungku, tiba-tiba aku mendengar suara decitan bangku kayu. Kulihat seseorang tengah berdiri di depan pintu studio keramik. Dia menatapku dengan tatapan dinginnya.

Aku terdia. melihatnya yang tengah menatapku dengan ekspresi yang tak bisa kuartikan. Apa aku akan kena marahlagi karena pulang selarut malam ini?

"Masuk." ucapannya begitu dingin sambil mengkodekanku untuk segera masuk ke ruang studio keramik.

Aku menerima sinyal dari otakku jika ini bisa menjadi hal yang buruk. Aku tak mau dimarahi olehnya. Karena aku sudah lelah untuk mendengarkan ceramah apapun lagi di hari ini. Dengan langkah lemah aku memilih untuk menuruti perkataannya. Dengarkan saja dan tak usah beradu dengannya. Saat kumasuki ruangan keramik itu, aku bisa mencium aroma khas dari tanah liat.

Ah, aku mendadak teringat sesuatu di ruangan ini. Kejadian lalu saat aku membantunya membuat vas tanah liat.

Orang itu dengan tatapan dinginnya, Kak Doyoung, menyuruhku untuk menunggu di depan sana. Ketika kudongakkan kepalaku saat mendengar ada pergerakan darinya, aku langsung diperlihatkan dengan senampan makanan yang ia bawa.

"Makanlah." ucapnya singkat di saat aku terpaku melihat nampan yang berisi banyak makanan rumahan itu.

Pergerakanku masih seperti orang bodoh. Hanya melihatinya antara percaya atau tidak percaya. Dia tak memarahiku dan  aku tak melihat sedikitpun tatapan mengintimidasi darinya.

Aku beralih menatap nampan berisi makanan itu. Ada nasi, sup, ikan, telur dadar dan kimchi. Ini makanan yang cukup banyak dari yang biasa aku makan setiap harinya.

"Aku tahu kau sangat lelah hari ini. Makan yang banyak agar kau tak sakit."

Ucapannya terdengar begitu tulus. Aku kembali menoleh ke arahnya dan mengangguk pelan. Ini hal yang paling tulus di hari ini. Tatapan dinginnya yang biasa kulihat, kini berubah menjadi perasaan hangat yang mengelilingiku sekarang.

Karena hanya dia satu-satunya yang mencoba membuang sedikit lelahku di hari ini.

Aku menerima nampan itu, rencananya akan ingin berada di rumah saja, "aku ingin ke rumah," jelasku dengan pelan.

Kak Doyoung hanya mengangguk dan dia mempersilahkanku pergi saat itu juga. Aku pun pergi selagi membawa keberuntungan di hari ini. Sambil membuka pintu, aku dan keberuntungan di hari ini kembali berhadapan dengan kosong dan gelapnya rumah.

Aku bahagia dan merasa kesepian di waku yang sama. Tapi, aku tak ingin memikirkannya dengan lebih, jadi kuhidupkan segera lampu rumahku, mengunci pintu, dan bergegas menuju kamar secepat mungkin. Nampan yang kubawa tadi, langsung kutaruh di atas meja belajar. Aku hendak bergerak lagi, tapi mataku tiba-tiba terpaku kala melihat selembar brosur kusut di balik nampan makananku itu.

monochrome [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang