Chapter 8

1.3K 193 19
                                    

Lagi-lagi dua saudara kembar itu hanya beralih muka saat baru terbangun di pagi hari. Begitu berat hari yang mereka lewati dengan perang dingin ini. Ingin satu sama lain mengucapkan maaf namun rasa harga diri lebih tinggi dari apapun.

Mereka kembar, mereka juga telah menghabiskan waktu bersama sejak kecil. Sehingga rasa ini, seperti menjerat mereka. Terlalu sakit bila dibiarkan dan terlalu takut mengakui masing-masing kesalahan satu sama lain.

Pada akhirnya mereka berjalan berlainan arah. Tanpa mereka sadari sebenarnya mereka sama-sama berhenti sejenak untuk berpikir. Namun, tetap saja jerat setan masih membelenggu hingga pada akhirnya mereka melanjutkan jalan yang mereka pilih.

***

Keadaan koridor yang ramai tak menyurutkan semangat anak lelaki berambut pirang itu. "Kau yakin tak mengenalnya Rose?"

Seraya membereskan sebagian bukunya, Rose mengangguk. "Aku tak mengenalnya. Aku sendiri kebingungan saat Snape menyangkut-pautkan masalah ini dengan pria pincang itu."

"Kalian pernah berpikir tidak, kalau ternyata diam-diam selama ini Snape mengawasi kita?" celetuk Albus yang langsung membuat dua orang didekatnya bergidik ngeri.

"Yah, aku hanya berasumsi saja. Karena dia bisa tahu siapa saja orang yang ditemui Rose." lanjut Scorpius.

Scorpius berhenti dan itu membuat dua sahabatnya turut serta mengikutinya. "Kalau kau tak mengenalnya bagaimana bisa Snape berkata seperti itu?" tanya Scorpius ditujukan pada Rose.

"Aku tidak mengenalnya tapi aku berkali-kali bertemu dengannya." bisik Rose menjawab.

Albus yang berpikir bahwa informasi ini rahasia segera menarik kedua orang itu menuju koridor sepi yang jarang dilewati siswa. Setelah merasa bahwa tempat itu aman, mereka bertiga segera membentuk lingkaran dengan saling memajukan kepala masing-masing.

"Jelaskan." titah Scorpius.

"Begini, aku pertama kali bertemu dengannya saat paman George mengajakku ke tokonya di Diagon Alley. Saat itu umurku masih 8 tahun. Karena saking girangnya aku sampai tersesat lalu ada seseorang yang menolongku untuk memberitahuku jalan ke WWW. Saat itulah aku pertama kali bertemu dengannya."

"Kau masih ingat ciri-cirinya?"

"Ya. Rambutnya hitam, kulitnya pucat, dan kurus."

"Pria itu hanya membantumu dengan memberitahu jalan ke WWW? Tanpa mengantarkanmu?"

Rose mengangguk. "Aku maklum masalah ini, karena yah, kakinya pincang. Ia mungkin tak bisa berjalan terlalu jauh."

"Lalu aku juga pernah berkali-kali bertemu dengannya, namun ia selalu menghindar saat aku ingin menghampirinya untuk mengucapkan terima kasih. Dan terkahir kali aku bertemu dengannya dia ada di dunia Muggle."

"Muggle?" tanya Scorpius dan Albus bersamaan.

"Iya saat itu Kakek mengajakku ke perkebunan yang menanam berbagai macam buah. Di sana aku lagi-lagi bertemu dengannya dan saat kuhampiri lagi-lagi pria itu menghindar."

"Menurutmu mengapa ia menghindarimu padahal saat awal bertemu ia justru membantumu?" tanya Scorpius.

Rose menggeleng pelan. "Entahlah. Apa mungkin ia tak menyukaiku?"

"Tak mungkin baru pertama kali bertemu ia sudah berasumsi bahwa kau anak tidak baik." jawab Albus seraya menepuk pelan pundak saudaranya.

"Ng—Rose, apa ada kejanggalan saat kau melihatnya?"

Rose tampak berpikir sejenak. "Tidak. Ia normal, kecuali kakinya—"

"—ah tunggu! Ia selalu memakai topi yang menutupi hampir sebagian wajahnya." pekik Rose pada akhirnya yang membuat kedua anak lelaki itu berjengit.

"Scorp, ayo! Profesor Sprout sudah menunggu!" teriak salah satu teman seasramanya saat menemukan keberadaan mereka di koridor sepi itu.

"Ah, baik! Albus, Rose, aku pergi dulu. Kalian juga harus cepat pergi ke mata pelajaran kalian!" ujar Scorpius sambil berlalu pergi.

Albus dan Rose kompak mengangguk. Namun saat mereka akan berpisah di koridor bercabang tiba-tiba Rose teringat sesuatu. Segera ia berbalik menghadap Scorpius dan berteriak, "Scorp!?"

Scorpius menoleh.

"Aku ingat ia memiliki warna mata sama denganmu. Tapi entahlah, kurasa hanya hampir mirip."

Saat Rose mengatakan hal itu, Scorpius tak beranggapan sama dengan sahabat bersurai merahnya itu. Bukan mirip—

—tapi memang sama.


***

Rhea membuka pintu menara astronomi secara perlahan. Didapatinya Apollo tengah menunggu dengan bersandar di balkon seraya menghadap ke arah pintu. Rhea segera menghampiri Apollo dan ikut bersandar di sebelahnya.

Apollo mengusap lembut rambut sebahu milik Rhea, "Berat ya hanya untuk menemuiku saja?"

Rhea memejamkan mata dan mengangguk. Semilir angin serta usapan Apollo telah cukup membuatnya merasa nyaman. Terlalu nyaman hingga rasanya ia ingin menghentikan waktu saat ini.

"Maaf membuatmu seperti ini." ujarnya lagi dengan nada yang begitu menenangkan bagi Rhea.

"Seharusnya aku yang meminta maaf padamu." jawab Rhea lirih.

Apollo menggeleng. "Bukan. Justru akulah yang membuatmu terjebak dengan hal konyol ini."

Rhea mendongak, menatap manik Apollo dengan begitu intens. "Begitukah?"

"Apa?"

"Hal konyol."

Apollo tampak kebingungan sesaat, sebelum akhirnya berkata. "Bukan begitu Rhe, maksud—"

"Harusnya dari awal aku mengerti bahwa masalah ini hanya konyol bagimu." ucap Rhea tertawa getir.

"Rhe—"

"Harusnya aku juga sadar diri bahwa semua ini sia-sia."

"Bukan begitu Rhe, kau tahu hatiku begitu sakit mendengar ini darimu."

Rhea berbalik, membelakangi Apollo. Ia mendongak menatap langit berbintang di atas sana. "Hatimu sakit mendengar ini dariku. Tetapi saat kau mendengar Lyra mengucapkan hal ini, hatimu akan bagaimana?"

Apollo mendengus sejenak sebelum akhirnya memakaikan sesuatu di kepala Rhea. Kemudian ia memeluk Rhea dengan menempelkan dagunya di pundak gadis bersurai pirang itu.

"Kau tahu aku tidak bisa menjawab ini."

"Dan kau juga tahu, bahwa aku tak suka jawaban yang berbelit."

"Aku mengerti. Akan kuusahakan."

Rhea berbalik. Ia memeluk Apollo dengan begitu erat. Tangisnya tak pernah bisa ia tahan di depan lelaki itu. "Bisakah?"

"Apa?" jawab Apollo penuh sayang.

"Temani aku terus untuk beberapa hari kedepan."

"Kau tak boleh egois, Rhe."

"Tapi bukankah saat ini kau yang egois?"

Jemari Apollo yang sebelumnya mengusap surai Rhea kini telah berhenti. Dilepaskannya pelukan mereka dan ia menatap Rhea sendu.

"Aku harus menemui seseorang. Besok kita bertemu lagi, ya. Sampai jumpa."

Tanpa menunggu jawaban Rhea lelaki itu langsung pergi begitu saja. Diambilnya sesuatu dikepalanya yang sebelumnya dipasangkan oleh Apollo.

Ah, flower crown rupanya.

Namun bukannya senang, hati Rhea justru merasa sakit. Begitu sakit hingga rasanya ia ingin menangis dan berteriak saat itu juga.

"Ini mawar merah. Ia seharusnya tahu bahwa aku benci warna merah."

Mawar merah adalah bunga dan warna favorit Lyra. Jadi setelah ini apa yang harus ia lakukan?







Tbc

"Ah, flower crown rupanya."
:")

Be My Boyfriend (Sequel A New Wife)Where stories live. Discover now