Aku Merindukanmu, Ukhti

401 38 13
                                    

Aku Merindukanmu, Ukhti
Penulis: heuladienacie

Aku menunduk, menyembunyikan wajah dari selipan rasa lirih, mendengar dengung menyakitkan yang seolah melibas punggung kami. Tak perlu membuka buku untuk tahu alasannya. Ketika aku yang seorang anak preman kelas kakap yang saban hari makan dari hasil curian merangkap seorang anak mantan dukun, berjalan dengan seorang gadis berwajah teduh, baik hati, dan anggun serupa bidadari. Keajaiban, kalau boleh dikata. Bahkan kucing yang lewat di hadapanku mendengus meremehkan kedekatan kami.

Gadis itu menggenggam tanganku lebih erat, memaksa langkahku yang semakin berat. Senyum tulus ia sunggingkan, sebuah bentuk dorongan dan keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja.

“Tidak apa-apa, Ra. Jangan takut. Ayo!”

Aku mengangguk, terbata, karena untuk sekejap sempat terpana. Matanya yang bersinar menular padaku. Bahkan sampai hari ini aku tidak mengerti, mengapa gadis ini begitu berusaha untuk mendekatiku. Berusaha untuk membawaku kepada sebuah jalan yang dikatakannya membenahi diri.

Pertama kali berkenalan dengannya di sosial media. Aku mengomentari statusnya yang seolah tidak memiliki perkerjaan lain selain mengurusi orang lain, meski diam-diam aku mengikuti. Dari situ kemudian hubungan kami berlanjut menjadi pertemanan. Dia meminta bertemu, aku menyanggupi,  meski jujur pada awalnya aku mengira ia akan melabrakku.

Annisa namanya, pernah bersekolah di LIPIA. Gadis manis bertahi lalat di dagu itu malah menantang sekaligus mengajakku mengenakan jilbab selama sebulan saja, sampai aku mulai terbiasa dan merasa risih ketika membukanya. Aku menjelaskan keadaanku yang tidak memungkinkan. Annisa bersikeras bahwa dia akan menawarkan iming-iming sebuah permintaan apa saja asal aku ingin mencoba. Persis seperti sales menawarkan dagangan.

Di pertemuan pertama, aku memiliki niat buruk untuk memintanya melepas hijabnya setelah sebulan nanti, sesuai dengan yang dikatakan temanku. Di pertemuan kedua, dia mengubah pola pikirku. Dan di pertemuan ketiga, aku menyerah, sisi putih dalam benakku memenangkannya. Annisa, gadis secerah matahari pagi itu melunturkan sifat picikku begitu saja.

Matahari semakin tinggi. Bayang-bayang kami terbias pada kaca riben toko-toko yang kami lewati. Jilbab hitam lebarnya mengembang tertiup angin. Siluet anggun Annisa begitu berkilau di mata orang-orang yang melihatnya. Aku menggaruk kepala yang terasa gatal, mengibaskan kain penutup kepalaku untuk memberi sedikit udara. Entah bagaimana Annisa dapat bertahan mengenakan jilbab sepanjang itu. Aku saja yang hanya mengenakan kerudung sebatas dada---yang kusulap dari taplak meja---sudah sedemikian gerah.

"Alhamdulillah sudah sampai."

Sesaat kemudian kami tiba di Masjid Baittur Rachman. Masjid megah yang dibangun dari duit banyak orang, tetapi sayang, jamaah yang datang hanya segelintir saja. Annisa bercerita seolah hal itu begitu pentingnya. Aku menganggapnya biasa saja. Untuk apa juga sering-sering ke masjid? Memangnya ada apa di sana?

Aku mengikuti Annisa yang melangkah riang mendahului, menaiki tangga dengan sedikit ragu. Ada sembilan anak tangga yang harus kujejaki. Tiba-tiba perasaan kuat dan dalam memenuhi benakku. Hatiku serasa bergetar pada pijakan pertama, semakin kuat pada pijakan selanjutnya. Tanpa terasa pipiku telah basah. Annisa berbalik, aku bisa melihat kakinya berjalan menghampiri. Kuseka wajahku, justru yang turun semakin banyak.

Aku mengusap dengan panik. Ini memalukan. Sepersekian detik aku membeku, dekapan hangat Annisa menyelubungi. Entah bagaimana kemudian aku menangis tersedu sedan. Kerinduan yang tengah datang begitu menyesakkan. Seolah ada ribuan kenangan yang berputar menyakitkan.

"Sudah, Zahra. Sudah."

Perlahan aku menjadi semakin tenang. Annisa membimbingku kembali hingga sampai di aula atas masjid. Ada sekitar tiga puluh perempuan-perempuan muda seusiaku duduk beralas karpet warna marun. Di depan ada sebuah meja khusus yang kuyakini sebagai tempat salah satu guru atau ketua. Semua mata menatap ke arah kami, mungkin pandangan mereka tak jauh berbeda melihat kejadian langka ini.

Jurusan Religi Islami The WWGWhere stories live. Discover now