Humairahnya Rayyan

167 19 7
                                    

Humairahnya Rayyan
By: annisaaly

Nyaris saja aku menjatuhkan ponselku ke lantai, saat kedua pasang mataku dengan jelas melihat Ayu di belakang kemudi seseorang. Napasku naik turun. Kekesalanku telah memuncak hingga ke ubun-ubun. Pasalnya, sekitar sepuluh menit yang lalu, Ayu mengirim pesan sedang mengantar mamanya ke pusat perbelanjaan. Tetapi, lihatlah, bahkan tangan perempuan itu memeluk sang pengemudi dengan erat dari belakang, tak lupa juga segaris senyuman yang terlihat begitu bahagia terukir di sana.

Pengemudi itu menghentikan motornya tepat di depan mini market yang sama denganku. Dengan emosi yang terus memuncak, akupun berlari menuju mereka. Berbagai umpatan dan nada-nada kebencian tertahan di ujung lidah. Andai saja tak ada Ayu di sana, semua sudah kulontarkan.

Gadis manis yang selalu kurindukan itu tersentak kaget, saat mengetahui aku berada tepat depannya. Wajahnya pusat pasi. Tentu, karena belum pernah ia melihat raut wajah lelakinya semenyeramkan ini. Dan belum pernah aku merasa semarah ini.

Hening tercipta di sana, yang ada hanyalah kode mata Ayu yang menyuruh laki-laki itu pergi. Sulit dipercaya jika aku akan terkhianati seperti ini. Inikah akhirnya? Sedang kepercayaan yang telah kuberikan padanya dengan mudah ia hancurkan.

“Ray, aku bisa jelasin,“ kata Ayu dengan menggenggam tanganku erat.

“Semua sudah jelas, Ay, apa yang harus kamu jelaskan?” Aku hanya tersenyum getir, menertawakan kekalahanku, “Kita putus!”

Dengan yakin,  aku melangkah pergi meninggalkan mereka berdua. Menyisakan Ayu yang tetap menunduk merasa bersalah. Suara motorku meraung keras dengan sengaja saat melewati mereka.

***

“Ayolah, Ray, ini bukan pertama kalinya buat lo,” ocehan Raga masih berdengung tak mengenakan sejak pertama kali aku menceritakan hubunganku yang kandas dua minggu lalu.

“Masalahnya, gue yakin banget, Ayu adalah pacar gue yang terakhir, Ga. Dia satu-satunya perempuan yang gue kenalin ke orang tua gue. Gue udah percaya banget sama dia, tapi balasannya malah gini.”

Lagi, Raga masih mencoba membujukku untuk mengikutinya ke masjid daripada menggalau tidak jelas. Dia yang tidak jelas, tidak mau tahu kalau suasana hatiku sedang buruk untuk melakukan apapun. Kuputuskan untuk pergi ke perpustakaan, meninggalkannya sendiri yang sudah dipanggil salah satu teman rohisnya.

“Wah, dia nggak bakalan selingkuh, nih, pasti,” gumamku. Aku berdecak sesaat mendapati pemandangan indah begitu masuk ke perpustakaan. Seorang wanita berjilbab hitam sebatas dada yang kutahu pernah satu kelas semester kemarin denganku. Tazqia, gadis yang mengundang decak kagum karena kesalehannya sudah termasyhur di kalangan mahasiswa. Ayu mah jauuuh, bukan sandingan sepadan untuknya.

“Hai,” sapaku.

Perempuan itu mendongak. Kudapati wajahnya yang semula datar berubah tersenyum sekilas, sangat singkat.

“Assalamu’alaikum.” Mendengarnya membalas sapaanku dengan salam yang harusnya kuucapkan tadi, lantas membuatku sedikit terusik.

“Wa’alaikumsalam,” jawabku rikuh. Ini kali pertama aku mulai menyapanya. Selama ini kami hanya sebatas teman kelas yang berbicara saat ada tugas bersama.

Sudah lima belas menit aku duduk di sini, berkelana dengan pikiranku sendiri tanpa basa basi darinya sejak sapaan tadi. Padahal niat awalku untuk sedikit berbicara padanya dan mengenalnya lebih jauh. Sejak semester kemarin aku melewatkan saat-saat seperti ini, tak pernah ada keinginan untuk berbicara padanya selain tugas kuliah. Karena semenjak dulu aku tak pernah tertarik dengan typical gadis shalihah sepertinya.

Jurusan Religi Islami The WWGWhere stories live. Discover now