Kisah Kiara

121 14 1
                                    

Kisah Kiara
Penulis: SanggiRedemaP

"Mas, kapan mau ketemu Ibu?"

Aku terus mendesaknya demikian. Sebab sudah lama sekali aku berpacaran dengan pemuda jangkung tersebut, namun sekali pun ia tidak pernah berani menemui orang tuaku.

"Aku ini belum ada apa-apa, Dik. Malu ketemu calon mertua."

Alasannya pun dari hari ke hari tidak berbeda. Aku merasa jengah dengan hubungan yang tidak ada akhir ini. Seperti digantung oleh ketidakpastiannya.

"Kalau begini terus tidak malu sama dosa, Mas? Janjinya aja mau nikahi aku," rutukku demikian.

Aku pun beranjak dari kost-annya dengan penuh kekesalan. Decakan yang keluar darinya tidak kuhiraukan. Aku terlalu fokus memperlihatkan emosi padanya agar ia berpikir untuk mengambil langkah selanjutnya demi membujukku.

***

Deringan ponsel terus saja berbunyi tanpa menggubrisnya aku melanjutkan acara menonton televisi. Sepintas, kulirik ibu yang lewat di depanku sambil menggeleng. Mungkin tidak habis pikir dengan sikap anak gadis satu-satunya.

Memang usiaku sudah menginjak duapuluh lima tahun. Menjadi bahan omongan para tetangga juga karena hingga sekarang belum berpasangan. Aku pun sering dibandingkan dengan teman sebayaku, Leila. Tidak sampai di sana. Ibu juga mulai khawatir denganku walau sudah ku katakan memiliki kekasih.

Perempuan baya itu duduk di sampingku. Mengambil alih remot dalam genggaman. Mematikan saluran televisi seketika. Mata sayunya yang dalam nyaris menusuk relung hatiku. Aku menghela napas kemudian beralih pandang.

"Kapan pacar kamu itu datang, Ra?"

Suasana hening tercipta sebab aku memang tidak ingin langsung menjawab secara verbal. Biar ibu yang mengartikan sendiri sikapku.

"Dia tidak mau kenalan dengan Ibu, Ra?" tanya ibu selanjutnya.

"Belum saatnya, Bu. Ntar juga bakal Kiara kenalin kok," jawabku, sedikit nyolot sebagai pertahanan terakhir, sebelum ponsel kembali berdering.

Setidaknya aku memiliki alasan mengangkat telepon demi menghindari Ibu.

"Kenapa baru diangkat sekarang?"

"Sibuk."

"Sekarang lagi di mana?"

"Rumah."

"Bisa keluar sebentar?"

Seketika aku mengintip di balik jendela. Mataku membola, bibirku bahkan tidak sanggup mengeluarkan kata. Di seberang sana sudah ada Hindam lengkap dengan pakaiannya yang rapi, setidaknya pria itu tak mengenakan kaus oblongnya dan memilih mengenakan kemeja.  Aku gembira bukan main. Setelah tiga tahun menjalin kasih akhirnya bukan sekadar ekspektasi.

Aku menjawabnya singkat, kemudian bergegas mengambil tindakan. Aku berlari kecil sembari tersenyum semringah. Di balik pintu tangan kananku membuka engsel. Aku patrikan senyuman yang merekah bak bunga bermekaran. Kulambaikan tangan ke arahnya. Ia pun menuju padaku. Semakin dekat bisa ku rasakan degup jantungku kian bertalu-talu. Semoga ibu bisa menerimanya.

"Apakah Ibumu ada di dalam?"

Aku mengangguk masih tersenyum sambil menggamit tangannya untuk masuk ke dalam rumah. "Ibu pasti akan senang melihatmu."

***

"Apa kamu bilang?" tanya ibu setelah mendengar ucapan Hindam. 

Jurusan Religi Islami The WWGWhere stories live. Discover now