Wanda dan Hijabnya

178 17 1
                                    

Wanda dan Hijabnya
Penulis: Fiikoo

"Unbelievable! Kamu berubah begini drastis dalam tiga bulan?” Iris hitam Wanda meneliti penampilan Wina dari atas sampai bawah. Bukan tatapan kagum tentunya.

Ahamdulillah, Kak," jawab perempuan berhijab biru laut yang tersenyum, menyambut Wanda di ruang tengah.

Sejak kepulangan Wina dari Kediri untuk KKN dua hari lalu, Wanda baru melihat langsung adiknya siang ini. Ia baru kembali dari nge-job di Medan, dalam salah satu acara mode busana muslimah trendi 2019.

"Emangnya, kamu di sana ngapain aja selain KKN? Kok bajumu jadi norak begini, sih!" Wanda kembali meneliti pakaian Wina, kali ini dengan raut mencibir. Ia yang melihat seperti ini saja merasa risih dan tidak nyaman.

Astaghfirullah, Kak, emang begini aturan menutup aurat yang bener.” Wina merentangkan kedua tangan dengan rendah. Memperlihatkan lebarnya jilbab dan gamis gombrang yang ia kenakan, membuat bentuk tubuhnya tidak lagi terlihat.

Wanda melempar pelan tas selempangnya ke sofa, lalu duduk. "Tapi enggak perlu segitunya juga, Win. Kita itu hidup di Indonesia, bukan Arab. Pakai jilbab kayak Kakak aja udah tertutup kok."

Perempuan yang lebih muda empat tahun dari Wanda itu menghela napas, turut duduk di sofa single tanpa lengan. "Itu mah lebih mirip balutan kepala daripada kerudung, Kak," ucapnya setengah bergurau. "Lagian, siapa bilang berjilbab itu budaya Arab? Itu perintah Allah untuk setiap muslimah, loh, Kak."

Wanda mengernyit dalam, semakin tak memahami pemikiran adiknya. Pikirnya, Wina telah terpengaruh dengan pemikiran radikal para teroris, melihat dari figur yang tersebar di media kebanyakan dari mereka berjilbab panjang.

"Emang, apa bedanya, sih? Toh sama-sama nutupin rambut ini." Wanda membalas tak sabar sekaligus kesal dengan ke-sok tahuan Wina.

"Emang bener, Kak, itu nutupin rambut, tapi maknanya jadi beda. Jilbab bermodel kayak yang Kakak pakai itu belum nutupin dada dan masih bisa mengundang syahwat,” jelas Wina.

"Sok tau kamu!"

Belum sempat Wina membalas, percakapan menjurus percekcokan mereka terinterupsi oleh kehadiran Ayah mereka yang baru tiba dari masjid. Menyusul ibunya yang baru pulang membeli bahan makanan untuk merayakan berkumpulnya keluarga mereka.

"Apa yang dikatakan Wina itu benar," Purwanto menyambung topik yang sempat tertunda. "Sesekali contohlah adikmu itu, selama dia berada dalam kebenaran." Purwanto meletakkan sajadah yang dibawanya ke atas meja, lalu duduk tepat di kursi seberang Wanda.

Wajah perempuan berjilbab pashmina merah cabai itu semakin kusut. Ia menatap papanya kesal diiringi gerutuan dalam hati. Dirinya tidak suka diatur-atur seperti ini. Apalagi harus berpakaian seperti Wina. Ia berdecih tak sudi.

"Aku ya aku, Pa! Jangan samakan kami!" Wanda menaikkan suaranya.

Nuriana yang baru menghempaskan pantatnya di kursi sebelah Wanda mengelus lembut lengan anak sulungnya tersebut. "Papa bukannya membandingkan kalian, Nak."

Wanda mengurai jemari yang melingkar itu, lalu menoleh ke kiri. Ia kembali meneliti hijab polos adiknya dengan sorot remeh. “Bisa-bisa aku langsung kena pecat dari agensi karena pakaian norak enggak modis begitu!”

"Papa malah bersyukur," tanggap Purwanto setengah tajam.

Wanda memalingkan wajah ke arah laki-laki berkumis serundeng itu. "Jadi, sekarang Papa enggak bersyukur. Begitu? Pa, Papa tau sendiri kalau teman-teman kantor Papa di pengadilan agama banyak yang muji Papa karena pekerjaanku ini. Papa juga tau, 'kan, udah berapa orang yang mau menawarkan anak laki-laki mereka untukku? Apa itu enggak cukup buat Papa bersyukur dan juga bangga?"  tukas Wanda tersulut emosi. Matanya memercik api kemarahan untuk keduanya.

Jurusan Religi Islami The WWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang