SYAIKHONA

175 24 5
                                    

SYAIKHONA
Penulis: Ratnagdsky

Dulu, ketika aku berusia lima tahun. Pertama kalinya mengaji di masjid, dia membimbingku membaca iqra. Dia, seorang ikhwan yang menjadi idaman para kakak-kakak tingkat mengajiku. Setiap ba'da Isya, kami diminta duduk melingkar, mengelilingi dia yang berada di tengah. Kemudian, bergilir mengaji sambil dibimbingnya.

"Siapa yang sudah hafal surah An-Nass?" tanyanya ketika kami sudah duduk rapi.

Aku mengangkat tangan kanan bersamaan dengan Firza. Namun, Firza lebih cepat dariku. Mungkin itu sebabnya Firza diperintah ke depan untuk membacakan surah An-Nass. Di ayat keempat, ada kesalahan yang mengakibatkan Firza disuruh duduk kembali.

"Namamu siapa?" Dia menatap ke arahku. Wajar jika Kak Rahman tidak mengenalku saat itu. Dia seorang santri yang mempunyai hari libur satu minggu dalam setahun. Itu pun waktunya dua hari sebelum Idul Fitri, dua hari setelah Idul Fitri, dan tiga hari perayaan Idul Adha.

"Fanya," jawabku sambil memamerkan gigi yang saat itu ompong satu di atas.

"Hafal surah An-Nass?"

Aku mengangguk semangat. Dalam hati berharap semoga disuruh ke depan. Dan ternyata benar, aku disuruh berdiri di hadapannya untuk membaca surah tersebut. Saat itu bacaanku masih acak-acakan, karena belum paham apa itu tajwid. Yang penting hafal.

Setelah menyelesaikan ayat terakhir, dia tersenyum sangat indah. "Tahu artinya?" tanyanya yang direspon gelengan kepala olehku.

Tangannya mengambil sesuatu dari kotak bemotif batik di sampingnya. Sebuah buku bersampul motor diberikan pada aku. Aku tidak langsung menerima, justru malah menatap matanya lebih dulu. "Untuk siapa?"

"Untuk Fanya sebagai hadiah menghafal surah An-Nass."

Senyum merekah di wajah polosku. Di usiaku saat itu, mendapat hadiah satu buku saja seperti mendapat hadiah uang tunai satu juta. Bahagia banget! Sampai buku itu kupeluk erat dan mengucapkan terimakasih. Memang semua bukan soal nilai, karena yang membuatnya membahagiakan karena apresiasi atas usahaku sendiri.

"Kamu boleh duduk." Perintahnya yang segera kulaksanakan. "Untuk besok, siapa yang menghafal surah Al-Falaq dan artinya, kakak beri pensil warna."

Dua belas buah pensil warna ia lambaikan di depan kami, membuat anak-anak menjerit ingin. Aku melihat dia susah payah menghentikan kericuhan yang terjadi. Jari telunjuknya ditempelkan pada bibir, tangannya bergerak seperti mengusir. "Sttttt. Kakak kalian di lantai dua sedang mengaji kitab, jangan berisik."

Singkat cerita, dua hari kemudian, Kak Rahman pamit pergi ke Jawa Timur untuk melanjutkan pendidikannya.  Saat itu kami sedih, tidak ada lagi semangat untuk menghafal surah karena tidak ada hadiah. Aku beserta teman-teman sempat malas pergi mengaji. Jika bukan karena bapak yang memaksa, aku pun enggan pergi mengaji.

Tiga tahun setelahnya, dia kembali lagi. Sosok yang dulu masih terlihat anak-anak, kini tampak dewasa. Saat usiaku delapan tahun, dia sudah delapan belas tahun. Bahagianya kami dengan kehadirannya. Saat bertemu untuk pertama kalinya di masjid, kami melapor bahwa hafalan kami sudah banyak. Lalu kami meminta hadiah lagi.

"Kak, aku udah hafal sampai surah Al-Adiyat."

"Banyakan aku, udah sanpai alam nasroh, weee." Firza memeletkan lidahnya ke gadis berhijab orange di sampingnya yang bernama Nurul.

"Aku hafal surah yang panjang, Kak! An-naba. Hebat, nggak?" Laki-laki di sampingku yang berusia sepuluh tahun itu bergaya menempelkan telunjuk dan jempolnya yang gemuk ke dagu.

Jurusan Religi Islami The WWGWhere stories live. Discover now