Ningsih

122 14 1
                                    

Ningsih
Penulis: bawelia-

Dalam ruang gelap nan lembab berukuran 4 x 3 meter, suara tangisnya pecah beriringan dengan bantingan daun pintu yang cukup keras. Bayi yang awalnya tertidur pulas dalam gendongannya pun terkejut lantas ikut menangis tersedu-sedu bersama sang Ibu.

Jika saja bukan karena kebodohannya yang memilih pergi bersama Yuda waktu itu, Ningsih tak perlu hidup melarat seperti sekarang. Ia tak perlu menahan tangis dan amarah di saat bersamaan. Tak perlu selalu mengkhawatirkan apa yang akan dimakan untuk hari ini.

Takdir dari Tuhan seolah tengah menamparnya dari kesalahan yang ia buat karena menetang kehendak kedua orangtuanya. Benar adanya, jika ridha Allah terletak pada ridha kedua orangtua. Ningsih menyesal sudah membuat Bapak dan Ibunya sakit hati. Wanita itu menyesal atas takdir yang entah masih bisa dia ubah atau tidak.

Dua tahun yang lalu, saat dirinya masih berstatus parawan tua karena tak kunjung menikah di usianya yang sudah menginjak 30 tahun. Yuda--kekasihnya--datang hendak melamar Ningsih, akan tetapi berakhir dengan penolakan.

Alasan Bapak dan Ibunya hanya satu, karena Yuda yang jarang mendirikan salat. Dan Ningsih tak pernah sudi menikah dengan orang lain jika itu bukan Yuda.

Menurutnya, Yuda itu adalah sosok suami yang diidam-idamkan semua wanita. Rupawan, karir cemerlang, harta hingga tujuh turunan pun tak akan habis. Laki-laki itu memang jarang salat, tapi lihatlah kelebihan dunia yang dia punya? Bapak dan ibunya saja yang rajin ibadah bertahun-tahun tak pernah Tuhan kabulkan keinginannya untuk memiliki sebuah sawah.

"Semua yang Yuda miliki sekarang hanya untuk membuatnya silau, Ning. Harusnya kamu tau, bukane Bapak sudah sering bilang?" Pria yang baru saja membuka korannya itu menanggapi santai ucapan anaknya.

"Ya siapa tau juga nanti Yuda bisa rajin solat, Pak, kalau udah nikah sama Ningsih. Masa karena hanya jarang solat Yuda sampai Bapak tolak berulang kali? Malu, Pak, Ningsih sama tetangga, dibilang Bapak e nggak bersyukur anaknya dilamar bujang kaya raya," katanya sambil menepuk-nepuk dada.

Adi menutup korannya, lantas mengambil cangkir kopi di atas meja yang tinggal setengah isinya sambil berujar, "Bapak lebih malu sama Gusti Allah, nduk. Malu kalau sampai anak yang dititipin, malah Bapak serahin ke laki-laki yang nggak bisa ngebimbingnya."

"Tapi yo Ningsih bisa ngebimbing Yuda nanti, Pak. Bukane ada empat hal yang bisa dipakai buat milih pasangan hidup toh? Dari hartanya, rupanya, keturunannya, dan--"

"Agamanya," potong Adi setelah meminum kopi seduhan istrinya hingga tandas. "Itu hadist buat laki-laki yang mau mencari istri. Kamu perempuan, Nak yang mau mencari seorang imam. Rasul pun menyarankan untuk memilih wanita dari agamanya, karena insyaallah akan mendatangkan ketentraman."

"Nah!" Ningsih berseru. Bola matanya menajam, seolah ia sudah menemukan sebuah jawaban. "Yuda sama Ningsih sudah seagama kan, Pak? Terus apa lagi yang dipermasalahkan?"

Mata Adi menyipit saat memandangi wajah anaknya. Mencoba mengintimidasi tapi nyatanya tak bisa. Ia pun mengembuskan napas untuk meredakan emosi yang sempat ingin meluap karena mendengar ucapan Ningsih. "Pokok e Bapak tetep nggak setuju. Orang yang jauh sama Gusti Allah hidupnya nggak akan jauh-jauh dari penderitaan. Kebahagiaan, harta, rupa yang baik bahkan bisa menjadi ujian. Kalian hanya belum sadar karena manusia sadarnya kalau sudah diberi ujian berupa musibah."

Ningsih bersedekap, bola matanya berputar malas. "Sudahlah, Pak. Ngomong sama Bapak iki nggak bakal selesai-selesai. Nasihaaat aja yang dikasih, kenyang Ningsih dengerin ceramah Bapak iku."

Adi membelalakkan matanya. Ia tak pernah menyangka jika Ningsih berucap seperti itu pada orangtuanya sendiri. "Istighfar, Ning! Sejak kapan kamu belajar bahasa kasar kaya begitu? Bapak nggak pernah ngajarin buat nggak sopan sama orangtua!"

Jurusan Religi Islami The WWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang