13 | Rumah Nomor 14

91 39 73
                                    

Sejatinya sepenggal harapan tak pernah ada yang luput dari luka. Sebahagia apapun akhirnya, adakalanya dunia enggan berpihak kepada kita.

***

Terik mentari menerangi bumi lebih dari biasanya sehingga siang ini udara di luar begitu panas. Kinan bergelung di bawah selimutnya, daripada ia beraktifitas dan menambah dahaga ia lebih memilih untuk memejamkam mata sejenak.

Percayalah, tidur siang Kinan tidak lebih dari satu jam, anak itu menghindari mimpi buruk yang mendera. Perlahan mata yang sayu ditutup oleh kelopak matanya. Cahaya di kamar Kinan tidak bisa masuk ke dalam retina, ia telah hanyut dalam mimpi.

Sementara itu, Anya sedang pergi ke rumah Helena menyelesaikan tugas yang diberi Bu Indah sepekan yang lalu. Kini, rumah itu tampak sepi, Ayah dan Ibu juga sedang berpelukan bersama kasur kesayangan.

"Assalamualaikum." Raven melengang masuk ke dalam. Anak itu selesai pulang dari uji coba UNBK di sekolahnya. Ya, Raven duduk di bangku SMP kelas 9, nampaknya akhir-akhir ini ia semakin sibuk mempersiapkan diri untuk tempur 5 hari lagi.

Ia menghempaskan tubuhnya di sofa tengah. Menikmati waktu-waktu sendiri seperti ini jarang bagi Raven, ia sejenak melupakan pelajaran di sekolahnya dan bertemu Koko, kucing yang ia pelihara.

"Udah dikasih makan sama mbak Kinan belom?" tanyanya begitu Koko bersanding manis berjejeran dengannya.

Kucing itu hanya bisa mengeong, memperlihatkan sepasang matanya yang sekarang berbinar-binar. Raven mengerti kucingnya kelaparan, ia segera menggendong ke dapur untuk mengisi perutnya yang menggembung.

"Ayok makan, mau makan apa? Eh tapi mana bisa milih, makanan lo kan bosenin hehehe," ujarnya mengelus kepala hingga punggung Koko.

Setelah mempastikan Koko kenyang dan aman, anak itu beranjak ke kamar Kinan. Meraih pintunya mendadak tanpa permisi sekaligus berdiri di ambang pintu, hal tersebut membuat kelopak mata Kinan refleks membuka dalam sekejap. "Kaget gua lo langsung ngerasa," ucap Raven melihat Kinan yang sontak langsung terbangun.

Kinan mengucek kedua matanya. "Kenapa?" Dengan suara parau ia mencoba menegakkan dirinya agar lebih sopan dipandang.

Raven meringis sebentar, "Beliin gua mi dong di warung, laper," katanya sembari mengelus perutnya.

Hembusan nafas Kinan terlihat berat. Tolonglah, siang-siang begini? "Nape gak beli sendiri?" tukas Kinan dengan mata yang setengah tertutup.

"Gua mau bersih-bersih dulu kali, Mbak, capek."

Kinan menyibakkan selimutnya, mengumpulkan nyawa beberapa menit ke depan. "Emang gak ada makanan?" tanyanya basa-basi sembari melangkah lebih jauh.

Raven memundurkan kakinya dan bergeleng atas pertanyaan Kinan.

Kinan berdiri di depat cermin, menyisir rambutnya sebentar dan mencepolnya asal. "Yaudah, sekalian ngadem bentar." Ia pun bergegas keluar dari sarangnya yang terlalu nyaman untuk ditinggalkan.

Bagaimanapun Raven tetap adiknya, ia tak mampu menolak kala melihat adik kecilnya kelaparan karena tidak adanya hidangan yang layak dimakan. Salahkan dirinya yang memakan jatah Raven setengah jam yang lalu.


14.15


Dipasangkannya tudung hoodie krem yang kebesaran di puncak kepala. Kedua tangannya memilih bersembunyi dibalik saku hoodie. Kata Kinan, biar gak item kaya Deva yang kemana-mana bodoamat sama kulit.

Sesampainya di sebuah market, ia mengusir tudungnya supaya tak menghalangi wajah. Kinan pergi ke barisan perlengkapan makanan seperti mie instan dan para anteknya. Lantas setelah permintaan Raven terpenuhi, ia tertarik meraih sekotak coklat dambaannya. Ia sampai lupa kapan terakhir kali lidahnya mencecapi nikmat dari coklat itu.

BintanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang